Please enable JavaScript to access this page. 2011 ~ Kaki Semut
  • This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Pada Pagi yang Hijau

seperti air mengalir mencari muaranya untuk berlabuh

pagi ini akan ku telusuri jejak embun yang masih tertinggal di pucuk dedaun

mendekap penuh erat hembusan angin sebagai kain pada tubuhku yang dingin



kini aku melaju dengan segenap ragaku yang rintih

meskipun rapuh, sebisa mungkin aku rengkuh

karena di ujung jalan aku berteduh

dari segala rasa yang bertumpu pada pundakku



31/12/2012/05:49
by_lca
Share:

Ibu, Namamu Kembali Kusebut

Ibu adalah pagi
Yang selalu membuka hariku yang masih berselimutkan mimpi
Membelai lembut lewat bibirnya menyapa kedua pipiku
Menawarka seribu kedamaian bersama nafasnya yang berhembus tipis menyejukkan
seperti rintikan embun berkeliaran ditengah fajar

Ibuku merangkak bagaikan siang
Melawan terik yang mulai mencekik kerongkongan, menapaki kerikil tajam di setiap perjalanan serta melintasi jalan yang berkelok
Demi meraihku kembali yang terampas musim pancaroba, membawa hawa busuk pada diriku
Namun ibuku adalah kembang siwalan yang tak pernah layu meski musim telah mengobarkan api perang

Mungkin kini ibu telah menjadi malam
Dimana kau lihat aku telah tumbuh kembang bagaikan siwalan yang remaja
Menghasilakan setetes air manis pelepas dahagamu yang telah merangkak seharian di tengah terik yang panjang
Bersama daging siwalan kau tersenyum
bersama bulan dan bintang saling berkedip menikmati malam yang telah kuciptakan untukmu

Ibu, kasih sayangmu tak terbatas dengan waktu
Tak cukup ku lukiskan dengan pagi, siang dan malam
Kasih sayangmu serupa angin
Menyeruapkan wangi sayang kala aku terjaga dari terang dan gelap melingkari hari-hariku

ibu, namamu kembali ku sebut
agar kelak aku terlindung dari sengatan api yang membawaku pada suatu jurang yang memisahkanku padamu

kepadamulah aku bersimpuh
memintamu untuk membawaku dipelukmu

ibu, terimalah kasihku

by_licca Y.A
22/12/2011/00:00
Share:

Sepotong Bibir di Tanganmu

Mentari merajai pagi. Semburat sinarnya melengkungkan senyum, petanda kota ini akan kembali terik, siap memanggang manusia di bumi. Sudah berhari-hari aku menyusuri jalan kota yang tak mau kompromi dengan waktu. Jalanan macet, polusi mengepul dari segala penjuru, lubang-lubang akibat gerusan air hujan tetap dipertahankan, sedang terik tak terbendung. Membuatku enggan berlama-lama merayap di jalanan ini.
Hari ini adalah hari ke 6 aku berkelana di penjuru kota ini. Sebelum berangkat, kusiapkan segala bekal untuk menunjang penampilanku kali ini. Pakaian ku setrika dengan licin, wajah ku dempul dengan bedak bermerek kelas dunia, tak ketinggalan senjata yang paling utama, surat lamaran pekerjaan. Ya, itu adalah senjata satu-satunya yang paling berharga. Jika itu tiada, berakhirlah riwayatku kini.
Bersama Aldo teman seperjuanganku sekaligus “sahabat” bagi diriku saat ini. Kami bersama-sama mencari perusahaan yang mau menampung untuk mencari pundi-pundi dolar untuk membeli sesuap nasi. Kami adalah sarjana sastra, kami sudah memasukkan puluhan surat lamaran pekerjaan diberbagai perusahaan namun sampai saat ini belum ada satupun yang memanggil. Akhirnya, timbul ide dari Aldo, kita mendatangi langsung tempat yang akan kami tuju.
Jalanan kota yang sesak, waktu kami terbuang diperjalanan saja. Kami berputar-putar menyusuri jalan. Tak ada satupun petanda mangsa di depan mata. Peluh sudah bergumul di dahiku, parfum yang semula wangi dibadanku kini berubah wangi busuk keringat, bedak yang menyembunyikan bintik-bintik hitam akibat jerawat kini luntur sudah. Kamipun sejenak melepas lelah disebuah warteg di pingiir jalan raya. Tanpa basa basi yang berkepanjangan, dua gelas es langsung ku pesan. Sembari menikmati suasana jalan raya yang berisik, tiba-tiba bunyi handphone dari tasku berbunyi nyaring.
Massange
Luna: perusahaan media cetak yang aku tempati saat ini membutuhkan reporter berita. Cepetlah kesini mumpung masih ada bosnya lansung.
Lusi: thanks. Kebetulan aku posisi di Diponegoro
Luna adalah teman satu kosku, ia sudah diterima di salah satu perusahaan media cetak yang ada di Surabaya, tepatnya di jalan Diponegoro 8, Surabaya. Posisinya lumayan enak, dia disana sebagai editor berita. Kerjanya nyantai tapi butuh ketelitian, tak jarang ia lembur sampe larut malam untuk mengedit semua berita yang masuk padanya. Tanpa pikir panjang, segera ku hampiri. segelas es berada digenggamanku yang tinggal sepero langsung habiskan seketika. Semangatku telah pulih kembali. Aku dan Aldo sudah tidak menghiraukan penampilan lagi, kamipun beranjak mencari alamat yang diberitahukan Luna.
Alamat kantor Luna tak jauh dengan posisi kami saat ini. Lima belas menit kemudian, motor kami sudah terparkir didepan perusahaan. Seperti biasa, dengan bekal seadanya kamipun memasuki kantor tersebut. Dengan perasaan yang campur aduk, kata pertama yang terucap dari bibirku membuka heningnya kantor saat itu.
“selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” ucap resepsionis
“ begini Bapak, saya mendengar perusaan ini sedang membutuhkan reporter baru, dan saya mau melamar disini” tegas saya
“baik, silahkan duduk. Saya panggilkan bos saya dulu”
Rasa panik pun hilang, panas yang menyekat berganti sejuk yang tak terkira. Lamunanku melambung tinggi.
“selamat pagi, Pak.” Spontan berdiri dan berjabat tangan dengan pemimpin perusahaan.
“ selamat pagi”
Hatiku kini kembali berkecamuk, melihat orang nomer satu di perusahaan ini langsung menemui dan membolak-balik berkas yang ku sodorkan kepadanya. Hampir setengah jam tanpa sepatah kata yang terlontar dari mulutnya. Matanya terpusat pada tumpukan kertas ditangannya.
“apakah anda memiliki pengalaman sebagai perorter?” kata pertamanya
“ waktu mahasiswa dulu saya sebagai wartawan kampus. Saya sudah terbiasa di luar mencari berita”
“kamu?” matanya tertuju ke Aldo.
“ saya juga aktif di majalah kamus. Tugas saya sebagai penglayout majalahnya, pak”
Dia mengganguk namun kami tidak mengerti apakah yang diangguknya sebagai tanda kepuasan atau tanda meremehkan. kamipun saling menatap satu sama lain. Matanya yang tajam menambah kekhawatiranku dan sahabatku Aldo.
“baiklah, saya pelajari dulu berkas anda berdua”
“baik, pak. Saya menunggu kabar baik dari bapak” tangan kami beradu kembali. Mata tajamnya yang kini kosong, sehingga Aku dan Aldo tak mampu berspekulasi.
Senja memerah. Semburat sinarnya mengubah cat-cat dinding kantor menjadi jingga. Kulangkahkah kakiku menuju tempat dimana motor kami parkir. Wajahku telah layu begitu juga Aldo. Tangannya mungkin sudah kram, matanya sudah capek karena menyetir seharian di jalan raya. Kamipun berputar arah menuju tempat yang sedikit menghibur bagi kami. Disebuah taman kota. Taman yang tak sepi penggunjung. Taman yang semakin malam semakin bersahaja. Lampu-lampu neon yang mulai bersinar dan senja mulai mengakhiri hari ini motor kami mulai merangkak. Meskipun penat yang berlebih kamipun menikmati perjalanan sore yang syahdu.
Hari-hari kulewati dengan perasaan tak tenang. Meskipun makan dan tidur setiap hari seakan ada yang bergelantung di bilik jantungku. Ku genggam selalu Hp di tanganku, selalu kudekatkan jika aku mandi atau melakukan aktifitas lainnya. Itu kulakukan hanya untuk menunggu kabar baik dari perusaan. entah kenapa aku begitu yakin akan diterima disana. Yang jelas aku selalu menunggu.
Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu kulewati. Kali ini adalah minggu ke tiga selepas kedatanganku dari kantor itu. namun apa yang terjadi, sampai saat ini tak ada nomor yang menghubungiku. Lelah sudah menumpuk, jenuh sudah bersarang dibenakku. Kegelisahan kini semakin memuncak. Akirnya ku beranikan menelpon pihak sana. Jawaban yang membuatku tertohok dan lemas untuk pingsan. Hasil sudah di umumkan 2 hari sebelumnya. Pihak mereka kesulitan menghubungi kami karena nomor kami tidak aktif. Aku baru sadar nomor yang aku cantumkan adalah nomor yang tidak kami pakai. Mengingat Hp kami hilang ketika beberapa hari yang lalu.
Mungkin dewi fortuna masih berpihak kepada kami. Berkat pengalaman kami dalam bidang jurnalistik, mereka masih menunggu kami. Entah ada dorongan dari mana aku tiba-tiba ingin menelpon pihak sana. Itupun hasilnya tidak mengecewakan. Kabar itupun langsung kuberitahukan kepada Aldo dan Luna. Kami merasa sangat bahagia karena kerja kami dalam satu perusahaan.
Pagi yang semi, segala kuncup bunga telah bermekaran dengan bantuan embun yang menguyur sedari subuh tadi. Langit tampak membiru, suara burung berkicau tak henti-hentinya bernyanyi di belakang kos-kosanku. hari ini adalah hari pertama aku bekerja. Bersama Aldo dan Luna kamipun merayap dijalanan kota yang sesak.
Hari pertama, tugas pertama, dan target yang harus dicapai setiap harinya. Luna sebagai karyawan lama sudah terbiasa dengan pekerjaanya, sedang aku dan Aldo hanya manggut-mangut dari breefing yang kami dapatkan. Luna dan Aldo bisa satu lokasi, sedang aku sebagai reporter, tugasku meliput berita. Dan itu tandanya aku terjun dilapangan. Berpisan dengan Aldo dan Luna. Sudah jadi resiko, inilah pekerjaan yang aku pilih.
Hari pertama aku sangat kesulitan mencari sebuah tempat yang biasanya di buat berita. Aku belum jelas seluk beluk kota Surabaya seperti apa. Aku tertegun menerawang kosong sembari memikirkan kemana kakiku ini akan melangkah kali pertama. Tiba-tiba dari arah belakang, ada seseorang yang menepuk pundakku, seorang lelaki berkacamata. Dia adalah seniorku. Sebut saja Gilang. Kamipun berkenalan dan berbicara tentang tugas kami. Akhirnya ia mau membantuku dan mengajakku mencari berita bersama. Ketika itulah aku memiliki teman baru, teman yang selalu bersama-sama. segala tugasku lancar. Setiap hari aku menghasilkan tulisan yang selalu menjadi Headline di Koran. Akupun mulai mengagumi sosok pribadi Gilang, lelaki berkacamata ini memberi warna lain dalam hidupku. Kita saling bertukar pikiran dan memiliki feeling yang sama daam mencari sebuah berita. Dengan berjalannya waktu kedekatan kami sudah melebihi batas kewajaran. Ini sangat terlihat ketika kita terjun dilapangan. Sembari mencari berita kita juga memanfaatkan waktu untuk jalan bersama.
Aku mulai menikmati dunia baruku sebagai wartawan. Pengalaman-pengalaman di luar sungguh mengasyikkan sehingga aku sedikit demi sedikit lalai dengan “sahabatku” sendiri. Hal ini juga dirasakan oleh Aldo ketika ia sering menjumpaiku selalu bersama ketika kembali ke kantor setelah peliputan selesai. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan jika ada yang anek dalam diriku mengingat tugasnya sebagai penglayout cukup menyita waktu. Akupun mulai memecah hatiku menjadi dua bagian. Aldo yang selalu menemaniku sedari dulu sedangan Gilang yang selalu menemaniku ketika aku bertugas.
Sampai larut malam mataku masih sebening purnama. Entah apa yang kupikirkan, serasa hidupku seperti sinetron yang tak tahu.
“kring…kring…kring” suara handphoneku berbunyi
“halo ada apa Gil?” tanyaku sendu
“cepetan kesini Lus, didaerah Darmo terjadi kebakaran besar yang menghanguskan rumah penduduk” ucap Gilang dengan suara lantang
“oke aku kesana sekarang” tegasku
Akupun bersiap-siap dengan perlengkapan seadanya. ID card yang menjadi identitasku tak boleh ketinggalan. Tanpa berpikir panjang aku langsung bergegas menuju tempat kejadian. Meskipun seharian belum menutup kantung mataku, demi tugas aku kembali bertarung mencari berita. Sesampainya ditempat tujuan aku meliput bersama Gilang. Dengan wajah paniknya ia semakin terkesan kejantananya sebagai laki-laki. Aku tersenyum tipis kepadanya begitu juga ia membalas senyumanku.
Setelah pencarian berita selesai kami menuju ke kantor untuk membuat berita. Di sana, juga masih ada beberapa orang yang menyelesaikan tugasnya, termasuk Luna, bang Arman dan kang Ardi. Luna memandangiku terheran-heran melihat Gilang menggandeng tanganku erat. Luna tahu kalau aku dan Gilang adalah partner. Namun ini mungkin sudah berlebihan bagi Luna. Segera ku tarik tanganku dari genggaman Gilang. Aku langsung mengalihkan pandangan Luna dari arahku.
“eh Lun, lihat kang Ardi nggak?” tanyaku dengan sedikit gugup.
“tuh, ada di ruang percetakan. Sebentar lagi juga ke sini” masih bengonng menghadap ke arahku
“ya sudahlah, aku ke belakang dulu”
Aku langsung menuju ke kamar mandi. Melihat wajahku yang kusut karena belum tidur semalaman. Segera aku meluncur ke warung untuk membeli secangkir kopi. Tak kusangka di warung sebelah kantorku bekerja kudapati Gilang menyeruput secangkir kopi dengan sebungkus sari roti. Tak ketinggalan kacamata yang menyelimuti matanya dari minus 2 yang sudah menghampiri sejak SMA dulu, sesekali diangkat ke atas dengan telunjuk tangan kanannya.
“Lus, ayow ngopi disini. Sudah ku pesankan kopi buatmu” ucapnya yang membuyarkan lamunanku sedari tadi memandangi wajahnya di balik pohon depan kantor.
“ eh i..i…iya, sebentar lagi kesana” tukasku dengan sedikit gugup.
Segera ku hampiri Gilang dengan dua cangkir kopi di depannya. Kembali ku lihat wajah Gilang, ia terlihat tenang, seakan-akan tak ada kejadian yang membuatnya terusik. Ah, sudahlah mungkin aku saja yang terlalu membesarkan masalah. Mengawali percakapan kami di warung kopi, Gilang mengajakku liputan di sebuah taman hiburan di Surabaya utara sore nanti. Biasanya di tempat tersebut banyak remaja yang berlibur di sana. Apalagi sore nanti adalah malam minggu. Hingga larut malam pun tempat tersebut tak pernah sepi penggunjung. Aku menyetujuinya hanya dengan menganggukkan kepalaku tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Setelah pertemuan kami di warung kopi dini hari tadi sampai siang menjelang sore hari aku belum mendapati wajah Gilang. Ku cari ke seluruh isi kantor masih tak ketemu. Gilang memang seperti itu datang tak di jemput pulang tak diantar, kadang-kadang lansung nongol begitu aja. Beberapa hari yang lalu hampir kepergok dengan Aldo, ketika diriku akan keluar bersama Aldo, tiba-tiba di depan kosku motor Gilang sudah parkir di sana. Padahal 5 menit lagi Aldo akan menjemputku juga. Alhasil mereka saling bertemu disana. Aku hanya bisa diam dan menjawab sekenanya kepada Aldo, tapi beruntung Gilang banyak alasan untuk menjawab pertanyaan yang menghujani dirinya. Dan kali ini, aku kembali dikagetkan olehnya. Di depan gerbang kantor, ku temukan suara yang tak asing ku dengar. Ya, Gilang. Dengan tas ransel di punggungnya dan tak ketinggalan kacamata yang bersarang dimatanya menatapku dengan sedikit berbinar. Aku mulai mendekat dan naik di atas motor yang dikendarainya. Misi kita akan dimulai, motor Gilang melaju dengan kecepatan sedang. Di sepanjang jalan yang kita lalui tampak senja telah tersenyum membagi sinarnya yang anggun. Ku hirup udara yang bercampur dengan asap kendaraan. Tak peduli banyak racun yang masuk ke hidungku, aku begitu menikmatinya, tanpa ku sadari tanganku merayap ke pinggang gilang. Kulihatnya di salah satu sisi kaca spiyon, ia tampak tersenyum tipis dan merasakan dekapan tubuhku.
Waktu begitu cepat berlalu, sampailah kita di tempat yang kami tuju. Tempat ini telah dikerumuni remaja-remaja yang menikmati malam minggu bersama pasangannya. Gilang berhenti dipinggir pantai. Angin pantai begitu munusuk, kamipun mendekat dan memulai membuka mulut masing-masing.
“bukankah disini kita mencari sebuah berita?” tanyaku
“memang, tapi berita yang ini berbeda.”
“maksudnya”
“berita tentang perjalanan kisah kita yang sampai sejauh ini. Aku tahu kamu telah berpunya. Tapi kamu juga menikmati permainan ini bersama diriku. ” terang Gilang.
“Gilang?”
“aku menyukaimu Lus, aku berharap bisa memilikimu sepenuhnya” lanjut Gilang. Tangannya mulai meraih tanganku yang mulai kaku dan mendekap tubuhku yang semakin bergemuruh. Sedang aku masih diam terpaku. Matanya yang sebening embun memancarkan kedamaian pada diriku.
“Lus, aku……..!”
“jangan diteruskan, Gil” ucap aku, sembari tanganku mendarat dibibirnya.
“aku menghargai perasaanmu, aku menikmati kebersamaan kita selama ini. Tpi di sisi lain ada Aldo yang menungguku. Terimakasih atas perasaanmu. Biarlah tempat ini menjadi kenangan dimana perasaan kita telah bersatu dan berakhir di sini. Mungin jalan kita seperti Surabaya dan Madura. Ada pulau yang memisahkan kita. Namun ada satu jembatan yang akan menghubungkan yaitu sebagi sahabat sekaligus partner yang solit.” berganti tangannya merambat kebibirku untuk menghentikan perkataanku.
Wajah kami langsung menghadap ke luasnya laut. Diam sejenak lalu saling memandang kembali. Kami seolah-olah tak ada permasalahan yang terjadi. Senyum mengembang ke arahku, dan kami mulai melanjutkan perjalanan dengan mengelilingi tempat ini. Tempat yang semakin malam semakin banyak penghuni.

Minggu, 11/12/2011/08:00

by_E.Y.A
Share:

ibu

wajahmu kini menghampiri tubuhku yang terlilit senja

seakan kau merasa anakmu kini telah dikerumuni semburatan mega menyala

sendiri dalam dekapan sunyi

menepis kehampaan akan takutnya pada malam yang sebentar lagi menghampiri



nafasmu kini kembali ku hirup bersama senja yang menorehkan luka ditubuhku

membilas sedikit demi sedikit luka dengan sulur kasih sayangmu

meski itu hanya kurasakan lewat imaji



kepadamulah aku beradu

menceritakan yang sedang terjadi padaku saat ini

sembari menyusu didadamu yang mengembang

menyimpan banyak kedamaian dan ketenangan



aku rindu rebah dipelukmu

pelukmu yang mampu menenangkanku kala aku menangis akan sebab yang membuatku berlari dipelukmu

kini rindu itu terjadi kembali

ingin memeluk dan mengalirkan bening dipucuk mata

sebagai tanda ada rasa yang menyumbat langkahku untuk maju



ibu, padamulah kupagutkan cintaku yang panjang

karena ibu yang selalu menyeruapkan wangi sayang dimana langkahku tersumbat angin busung yang menghadang

ibu, air matamu adalah air susumu

menderaskan kasih sayang yang tak kunjung lenyap meski kemarau menghampiri tubuhmu



izinkanlah kembali aku memelukmu

tempatku membuang nafas

dan menghirup kembali wangi sayangmu yang kau tebarkan ketika aku sesak



padamu ibu

bulang sabit adalah senyummu



padamu ibu

terimalah kasihku



4/12/2012/18:16
by_licca
Share:

Kepadanya

(1)

kepadanya aku hilang ingatan

segala logikaku memudar, terkapar dalam buai cinta yang tak kunjung datang mendekam

mengendapkan sari pati kenangan dan kini hanya tinggal menyisakan rindu yang berlebihan

diam-diam menghimpit otakku untuk perang dengan kenyataan

bahwa aku kini hidup dalam bualan

(2)

kepadanya sebuah mata merintikkan hujan

meratapi nasib dengan wajah mendung mengantung

mencoba untuk mengisyaratkan dibalik tubuhku ada luka yang mendalam

sebab terjatuh dari hatimu yang membuangku tanpa ada landasan untuk pendaratan

(3)

kepadanya tanganku kembali memuntahkan kenangan

dimana sajakku tumbuh berkeliaran sebagai taman tak terawat diberanda jiwaku yang gersang

semuanya tiba-tiba menguncup lalu kembang kemudian layu dan terbuang

menyisakan anyir bagi siapa saja yang memandang

(4)

kepadanya laksana bunga kehilangan kumbang

bermekaran bersama legit madu yang kau simpan untuk di hisap dan dimakan kumbang jantan

namun sayang, kumbang itu telah mendapatkan makanan dari bunga-bunga di sebelah pekarangan

(5)

kepadanya kini aku kembali

merekahkan kelopak cinta dengan semerbak wangi sayang

serupa buah yang telah ranum kemudian siap untuk dipetik dan disimpan

sebagai bekal dimana nanti kita pergi sejenak menatap senja yang tak kunjung berendam

tempat muara kita meninggalkan jejak dengan sisa rindu yang telah terpisah jarak demikian





01/12/2011/22:10
by_licca
Share:

Peta

kemana perjalanan akan kau lanjutkan jika tak tahu arah

pada dinding tergambar
jalan, rumah-rumah, jembatan, sungai, jalan yang rusak

pada dinding tergambar
pertigaan, permpatan, lapu lalu lintas, taman

pada dinding tergambar
rumah yang ber cat biru berpagar bambu yang telah mulai koyak dimakan oleh waktu
dan di tumbuhi oleh semak belukar

pada dinding tergambar
jalan-jalan yang rusak dan berlubang
serta genangan air sisa hujan semalam

pada dinding tergambar
pasar yang ramai, kotor dan kumuh
dekat perumahan yang berjajar rapi itu

pada dinding terganbar
suasana kota yang mulai sayu
kehilangan matahari

kemana kau akan melanjutkan perjalanan jika kau tak tahu arah



by_ahadi b elisa
Share:

hanya kamu

Sungguh hanya dirimulah
Yang akan selalu ada dalam ingatan dan dalam hati ku
Tidak akan ada yang sanggup untuk
Menggantikan mu dalam hatii ku
Dan hidup ku
Karena sesungguhnyya hanya engkaulah
Orang yang selalu ku sayang dan ku cinta
Dengan sepenuh hati
Aku akan selalu ada untukmu dan akan tetap selalu menunggumu
Untuk selama-lamanya


by_ahadi b elisa
Share:

Bread Talk (mengenang waktu bersamamu)

Entah dari mana aku memulainya, semuanya mengalir begitu saja tanpa sekenario apapun. Dalam, dalam, dan semakin dalam kurasakan. Kenikmatan yang sulit kupungkiri, memberi kesan bahwa akulah orang yang paling bahagia. Seolah-olah hanya aku dan dia yang ada di dunia ini (mungkin ada lainnya dan itupun hanya menyewa menurutku).
Terasa dalam ikatan yang kita miliki tak mampu ku lepas dari jeratnya begitupun sebaliknya. Seharipun tak beradu kasih bersamanya, seperti dunia mogok untuk berputar, sunyi senyap dan pengap. akupun mulai paham akan setiap kebiasaan yang dibawanya. Apakah itu sudah dari kecil ketika ia tinggal bersama orang tuanya atau baru kali ini ketika bersamaku. Entahlah, aku sangat menikmati setiap tingkah yang ditampakkannya.
Aku teringat suatu ketika ia berbicara kepadaku, “dia tak pernah memperlakukanku seperti ini setiap aku merengek kepadanya. Biarkanlah aku selalu merebahkan tubuhku dipangkuanmu setiap kali aku merasakan ngantuk karena lelah bekerja seharian diluar” tak lama kemudian ia melanjutkan bicaranya yang sempat tertunda sejenak dengan nafas yang mendesah berat. “satu alasan lain yang begitu kuat menyiksaku karena seharian aku merasakan rindu yang begitu berat kepadamu”. Sejak itulah sebisa mungkin ku memberikan yang terbaik baginya dan tentunya aku akan selalu ada setiap ia membutuhkannku. Tatapannya yang polos dengan penuh kehausan akan kasih sayang dari orang yang ia harapkannya membuatku semakin ngilu dan ingin merengkuhnya setiap ia ingin mengalirkan butir air mata yang ingin membasahi wajahnya yang kuyu.
Setiap kali ia merengkuhku dari belakang kurasakan ada sosok anak kecil yang ingin dimanja oleh ibunya, segera ku buka tangannya yang mengikat perutku dan ku berbalik menatap tajam kearahnya sambil memberi kecupan hangat di bibirnya. Itulah kebiasaan setiap kali ia bagun dari tidur lelapnya semalaman. Semua telah ku siapkan, Air hangat telah berada dikamar mandi lengkap dengan handuk kesayangannya, pakaian kerja yang dipakainya kekantor telah rapi dan tergantung di lemari kamar tidurnya. Hampir semua kebiasannya ku mengerti. Hingga saatnya ku temani ia sarapan pagi. Sepotong roti dengan susu coklat sudah menyambut ia di meja makan. Kebiasaan yang tak ketinggalan setiap ia duduk menatap makanan dihadapannya yaitu ia menyuruhku mengajak ngobrol sambil mata kami beradu pandang dengan sedikit tawa yang menggelitik. Terasa geli memang, namun itulah kebiasaan selalu dibuatnya yang membuatku semakin ingin memiliki ia sepenuhnya.
Aku hampir kecanduan akan tingkah lakunya sedikit ke kanak-kanakan itu, sehari tak datang kerumah atau sekadar menelepon untuk memberi kabar. pikiranku terasa bimbang, jantungku berdegup tak beraturan serta gelisah selalu mengusik relung hatiku. Kemana ia pergi? dengan siapa ia pergi? jangan-jangan? Akh sudahlah, aku terlalu berlebihan. Biarlah aku menuggu disini sampai ia datang kepadaku. tak lama kemudian suara bel berbunyi, suaranya yang nyaring memecahkan hayalan burukku tentangnya. Ku buka pintu perlahan, ia datang dibalik pintu dengan membawa kue caramel yang dibelinya di bread talk tadi. Secara tidak sadar aku sering membeli kue itu ketika aku jalan-jalan dengannya. Tak kusangka kebiasaanku itu telah terekam diingatannya. disanalah pertama kali kita bertemu, kita sering beradu pandang meskipun tidak saling kenal satu sama lain.
“halo sayang, ku bawakan kue kesukaanmu” ia tersenyum dengan menampakkan kue dari belakang punggungnya.
“hemm… begitu menggoda. Di sore yang indah menikmati kue caramel yang lezat. Thank you honney” kecupan dari bibirku mendarat di pipinya. satu hadiah manis kuhadiahkan kepadanya.
Kulewati sore yang indah bersamanya untuk kesekian kalinya. Sebungkus kue caramel dengan cappuccino ku hidangkan di meja balkon tempatku bersantai bersamanya setelah jenuh akan rutunitas yang menyita waktuku denganya setiap harinya. Berteman senja dilangit sana bertabur awan-awan putih bergelantungan seakan ingin menjatuhkan hujan di atas tanah yang mengering karena sengatan mentari dihari ini. Begitu selalu kulewati setiap kesempatan yang ada untuk ku lewati bersamanya. Meskipun ini terlarang, tetapi inilah fakta yang ada.
Seharusnya aku bahagia dengan semua yang aku punya sekarang ini. Rumah berserta isinya, mobil mewah berjejer di garasi, gaji setiap bulan bersarang di rekeningku. Tetapi kenapa semakinku rasakan semakin ku takut aku kehilangan dia. Balkon tempatku besantai denganya selalu kudatangi sekadar mengusap rinduku yang semakin tak terbendung. Beranda tempatku menunggu setiap ia akan bermain kerumah tak juga hapuskan rasa takut yang mencekam. Dan ketakutanku selalu sirna dengan kehadirannya yang tiba-tiba dibalik pintu rumahku.
Kali ini benar-benar rasa takut itu menerorku, Sudah seminggu ia tak memberi kabar kepadaku. Kecurigaan kembali bersarang dibenakku. Apakah ia sekarang bersama dia? Apakah ia telah menemukan cintanya kembali? Hatiku begitu hancur jika itu benar adanya. Cinta yang kuberikan selama ini akan sirna begitu saja dihatinya. Aku tergeletak dalam ranjang tempatnya ia biasanya tidur dipangkuannku. Aku mengenang akan kisah yang kita jalani salami ini. begitu legit, selegit kue caramel yang selalu ia bawakan untukku.
Kali ini kuberanikan diri menghampiri tempat ia bekerja. Kulangkahkan kaki pelan-pelan sambil ku putarkan leher dengan mata bergerak kekanan dan kekiri berharap aku menemukan sosok yang kucari. Kuikuti kemana kakiku melangkah, sampai akhirnya aku berada di depan tempat resepsionis. Dengan senyum yang tulus wanita itu menanyaiku.
“ada yang bisa saya bantu, bu?”
“apakah bapak Dimas ada dikantor saat ini? Aku masih saja memutarkan kepalaku
“o… bapak Dimas. Maaf Ibu, bapak Dimas sudah seminggu ini tidak masuk kantor, beliau izin karena ada keluarganya yang sakit”.
“terima kasih” kataku kaku.
segera ku cepat-cepat bergegas meninggalkan resepsionis tadi. Seolah-olah aku seperti orang yang kerasukkan roh jahat dikantor itu. Tubuhku terasa lunglai mendengar tadi, seperti mau pingsan di tempat. Tapi itu tidak mungkin. Aku menuju mobilku yang kuparkir tidak jauh dari halaman kantor. Kukendarai ugal-ugalan. Aku tidak memperdulikan keadaan sendiri. Aku sudah tidak berpikir jika aku akan terjatuh atau polisi akan menilangku. aku tidak memperdulikannya semuanya. Sekarang yang ada dalam pikiranku hanya ada dia dan dia.
Aku tidak pantas memupuk kecemburuanku pada dia yang memberikan perhatian lebih terhadap wanita lain selain diriku. Sebenarnya ia telah beristri sejak lima tahun yang lalu. Aku sudah mengetahui itu sebelum aku mengenalnya lebih dekat. Aku hanya tau jika istrinya selalu mengekang terhadap apa yang menjadi keinginannya terutama dalam hal berkarir. Aku paham dengan sikap ia yang lembut itu, dibalik kelembutannya ada keliaran yang merasuk didalam jiwanya. Semenjak bersamaku kelembutan-kelembutan yang seharusnya ia berikan kepada istrinya semua tercurah kepadaku. Karena denganku ia bisa mengeluarkan gairahnya sebagai lelaki. Sehinggga waktunya habis bersamaku. aku sangat paham sekali dalam dirinya. Ia ingin sekali pulang kerumah dan bermanja dengan istrinya. Karena sikap protektif yang diberikan kepadannya, ia mulai tidak betah dirumah. Ia sering mampir dirumahku, rumah yang ia belikan untukku.
Sampailah aku didepan rumah. Kumasukkan mobil kegarasi. Aku mulai menapaki jalan yang menuju pintu halaman rumah. Tak kusangga, kulihat sosok orang yang sekiranya aku kenal siapa dia. Dengan tubuh yang tinggi kurus seperti orang yang kurang berolah raga, tapi aku menyukainnya. Mas Dimas, memang benar dia. Ia duduk diberanda tempat aku menunggunya setiap hari. Segera ku hampirinya, aku mendekap erat-erat tubuhnya yang kurus itu, ia berbalik membalas dekapanku. Kami menikmati dekapan yang terasa hangat ini. Namun itu tak bertahan lama. Ia melepaskan dekapannya dan tanganku.
“maafkan aku sayang, aku tak memberi kabar selama ini. Istriku sakit parah. ginjalnya bermasalah dan akan dioperasi. Aku harus mendampinginya. Aku sangat mencintainya seperti aku mencintaimu. Tapi dia istri sahku. Tidak mungkin aku meninggalkannya sendirian”. Ia sambil menyakinkanku.
“mungkin ini jalan yang terbaik bagi kita. Sudah seharusnya aku kembali kepada istriku. Terima kasih atas semua yang kau berikan kepadaku selama ini. Mungkin kita akan menjadi saudara saja nantinya. Suatu saat akan ku kenalkan kau dengan istriku jika kau mau. Dan sekarang aku harus kembali menemani istriku dirumah sakit”.
Suasana hening mengubur kami. Aku terdiam, seperti tersambar petir disiang hari. Semuanya akan berakhir sebentar lagi. Aku tak mampu mengakirinya. Dimas menyeret tubuhku dan mendaratkan bibirnya dibibirku. Mungkin ini tanda perpisahan darinnya untukku.
“sekali lagi maafkan aku sayang”
“Kubawakan kue kesukaanmu. Kue caramel kupesan dari bread talk tempat pertama kali kita bertemu.
“Sekarang Aku harus pergi. Goog bey hunney”.
Sampai detik pertemuanku dengannya tak sepatah katapun yang keluar dari bibirku. Aku hanya tertegun memandang dimas semakin lama semakin hilang dibalik pintu mobil yang dikendarainnya. dalam hatiku berkata “I love you hunney” ku ikuti dengan gerakan bibir yang lamban. Mungkin ia juga merasakan perkataan ku tadi. Tak berselang lama aku berucap ia mengirim pesan ke ponselku
“I love honey. I will always miss you”
Sender:
Sayang Dimas
085655401343

Semenjak itu semangat hidupku melemah tanpa asupan kasih darinya. Tak mungkin ku beranjak menuju kediamannya yang resmi. Meskipun ku tertatih menjalani hidup ini menjamu rindu yang selalu hinggap di benakku. Tatapi ada suatu kebahagian yang tulus dalam diriku. Aku bahagia melihat orang yang kucintai bahagia meskipun bahagianya tidak bersama ku. Sehari kemudian aku meninggalkan semua pemberian dari Dimas termasuk mobil dan rumahku. aku akan menjalani hidup sebagaimana mestinya. biarkan itu semua menjadi kenangan diantara kita bahwa ada cinta diantara kita. cinta tumbuh dari bread talk dan berakhir dengan bread talk.

Februari 2011





by_licca
Share:

Biar Angin yg Menjawab

Seperti itukan aku yang selalu menerjemahkan mimpi yang tak kunjung tampak

sedemikian terasa asing dan berubah setiap kali aku bergerak

serupa garis melengkung, terkadang lurus, serta tak beraturan

tak jarang gelembung-gelembung nafasmu ikut mendesah di punggung telingaku



seraut wajahmu tampak mendung menggantung

seakan tumpahkan butiran hujan didaratan pipimu yang gersang



tak apakah dirimu diseberang sana?

hatiku nanar menerawang akan mimpiku semalam yang berulang

mengetuk jantungku untuk pamit menghampirimu meskipun hanya batin yang bicara



ku ingin kau slalu seperti angin

yang slalu berbisik mengajakku bercinta dengan suara

menghembuskan segala kesahmu, ataukah keceriaan yang mengelitik jiwamu untuk tertawa

biar kuhirup lewat kedua hidungku, kemudian kan ku kirim kembali lewat hembusan nafas yang ku keluarkan

sebagai jawaban atas segala rasa pada dirimu



kali ini biar angin yang menjawab

kataku telah terbelenggu jarak akan dirimu yang terpenjara waktu

menghadangi tubuh masing-masing untuk bersatu dalam dekapan


by_Licca Y.A
Share:

Sengketa

"PERSOALANNYA bukan harta, Anakku. Tapi hak. Tanah ini adalah milik
kita yang sah, apapun yang terjadi kita harus mempertahan kannya."

"Benar soal hak, tapi haruskah untuk itu kita saling bermusuhan.
Haruskah karena itu kita saling dendam. Mak yang mengajari dulu,
mengalah bukan berarti kalah. Tapi kenapa sekarang Mak tak mau
mengalah?"

Perempuan tua yang dipanggil Mak oleh anak perawannya tersebut hanya
diam. Dadanya yang cuma dibalut kutang tua, memperlihatkan dengan
jelas susunan tulang-tulang di dadanya turun naik, seperti menahan
sesak yang tak kunjung lepas.

"Muni, kau masih terlalu muda untuk memahami arti sebidang tanah bagi
kita. Kelak bila kau dewasa, menjadi ibu, kemudian menjadi tua seperti
Mak-mu ini, kau juga akan bersikap sama. Ingat Muni, sejauh-jauh pergi
merantau, tanah kampung tetap punya arti."

Setelah itu diam. Tak ada yang ingin mulai berujar. Sayup-sayup suara
jengkrik memecah malam. Sedangkan cahaya kunang-kunang kelap-kelip,
menyelinap masuk lewat dinding tadir.

Muni, gadis yang baru masuk dalam kehidupan desa setelah lebih enam
tahun ikut bako-nya di kota, tak mampu memejamkan mata, setelah
percakapan itu. Betapa desa telah sarat dengan keganji lan, juga
Mak-nya. Dulu wanita itu amat patuh, lugu dan pendiam, layaknya
seorang wanita desa. Tapi kini? Betapa Mak menjadi keras hati dan
pantang menyerah.

Enam tahun di kota, sampai Muni menamatkan SMA, betapa lamanya jarak
itu. Jarak yang telah mampu mengubah segalanya, juga wajah desa, yang
saat di kota amat dia rindukan. Tak ada lagi jalan setapak menuju
kali, tempat dulu dia bersuka ria. Tak lagi ada anak perawan dengan
tudung lebar menampi padi di pinggir sawah. Tak juga ada lenguh
kerbau, suara itik serta bau lumpur yang menyengat. Jalan setapak
telah berubah menjadi jalan aspal. Sawah telah menjadi rumah-rumah.

Yang tak berubah hanyalah pondok tempat Muni, adik-adiknya serta Mak
menghabiskan hari-hari mereka. Pondok beratap rumbia, berlantai papan
dengan dinding tadir, berukuran enam kali enam meter. Lalu serumpun
talang di pekarangan samping kanan, yang nampaknya makin rimbun saja.

Dari balik dinding kamar tidur, Muni menangkap suara gesekan daun-daun
talang, lemah tapi mendayu. Seperti suara anak perawan yang berdendang
lirih, menangisi kematian sang tunangan. Dulu, talang itu kerap dia
tebang untuk mendapatkan satu ruas buat celengan. Atau jika bulan
maulud tiba, talang itu akan jadi korban, dijadikan wadah membuat
lemang.

Ketika seminggu lalu kembali Muni menginjakkan kaki di desa, dia lihat
talang itu berpagar kawat duri. Rimbunan daunnya meliuk- liuk ke
pondok mereka, membuat suasana kelam jadi sendu. Kala Muni pergi,
talang itu hanya serumpun kecil, tapi kini sudah merupakan sebuah
lingkaran dengan rumpun besar.

Di bawah talang itu pula kemarin dia lihat Mak Adang-nya
mengacung-acungkan parang.

RUMPUN talang itu sudah ada sejak lama, jauh sebelum Muni lahir. Dan
rumpun talang itu telah disepakati menjadi batas tanah mereka, tanah
Mak dan Mak Adang-nya. Sedangkan batas tanah Mak dan Etek-nya adalah
batang mangga besar di samping kiri pondok mere ka. Tanah pusaka
tinggi yang telah dibagi-bagi itu menjadi sumber kehidupan mereka;
Mak, Mak Adang dan Etek-nya.

Di atas tanah yang luasnya 500 meter itu ada pohon kelapa, garda
munggu dan merica. Ada juga tanaman muda berupa ubi dan cabe. Dalam
resah, Muni ingin menatap keluar, menatap ke arah rumpun talang. Tapi
bulan yang belum lagi keluar, membuat mata Muni tak menampak apa-apa,
selain gelap. Padahal Muni ingin sekali meli hat, malam ini, pesona
apa gerangan yang ada di rumpun talang itu, sehingga Mak dan Mak Adang
begitu kuat memperebutkannya.

"MUNI, kau belum tidur 'kan? Keluarlah, Mak ingin bicara."

Panggilan Mak memutus angannya. Perlahan Muni turun dan berjalan
menemui Mak. Mak dengan sirih di mulut, tembakau di tangan, tengah
menatap jauh ke luar, ke balik dinding tadir. Dalam remang cahaya
lampu damar kerut wajah Mak semakin jelas. Betapa tuanya wajah Mak.
Padahal Muni merasa yakin, saat dia berangkat dulu wajah Mak masih
mulus.

Tiba-tiba ada sesal menyelip, memutar tali rasanya. Kenapa dulu dia
harus pergi. Tapi segera sesal itu sirna kala ingat bahwa dengan
kepergiannya berarti keadaan berubah.

Ya, dengan sebidang tanah, apa yang bisa dilakukan Mak. Sementara Abak
sudah lama pergi menghadap Illahi. Tak hanya Muni, masih ada tiga lagi
adik-adiknya yang harus ditanggung Mak. Bagaimana dia bisa mendesak
Mak untuk menyekolahkan, sedang untuk makan mereka saja mereka harus
berbagi.

"Jangan terpaku di situ, mendekatlah kemari anakku."

Muni kaget, tak menyangka Mak memperhatikannya.

"Duduklah. Malam ini perasaan Mak rasanya tak tenang. Kau harus
mengetahui seluruhnya, secara tuntas. Kau yang akan melanjutkan
segalanya. Kau paham?"

Muni mengangguk. Ada rasa aneh yang menjalari urat nadinya, terus ke
dada. Sebuah firasat. Tapi Muni melawannya.

"Kau tahu, kenapa Mak Adangmu berkeras hendak menebang talang itu?"
Mak memulai percakapan. Muni hanya menggeleng.

"Mak Adangmu merasa bahwa tanah milik kita berlebih tujuh meter dari
tanah miliknya. Padahal, dalam adat kita di Minangkabau ini,
seharusnya anak laki-laki tak dapat warisan. Tapi karena Etekmu yang
di Jakarta sudah kaya raya, dia menghibahkan tanah bagiannya buat Mak
Adangmu. Tapi akhir-akhir ini Mak Adangmu selalu ribut menuntut
kekurangan tanahnya dari tanah kita."

"Dan Mak tak setuju bukan?" Muni menyela.

"Jelas, Nak. Sudah dapat bagian saja seharusnya dia sudah malu. Mamak
macam apa dia yang membawa harta kemenakannya ke rumah anak istrinya.
Tapi agaknya Mak Adangmu memang telah kehilangan rasa malu. Malah
sekarang mengusik bagian tanah adik perempuannya."

Muni diam, diam yang menyimpan tanya. Di sini, di negerinya ini, yang
punya sistem matrialinial, harta memang jatuh pada anak perempuan.
Apalagi jika harta itu merupakan pusaka tinggi. Mamak juga punya peran
sebagai pelindung kemenakan dan harta juga untuk kemenakan, terutama
kemenakan perempuan jika mereka sudah dewasa.

Kalau ada seorang anak laki-laki yang dewasa dan sudah punya anak
istri mengambil harta pusaka atau sekedar menggarap harta pusaka
tersebut, ini adalah aib besar. Aib yang benar-benar memalukan.

Seorang laki-laki memang berpantang hidup dari pusaka tinggi,
berpantang membawa hasil garapan tanah pusaka tinggi ke rumah anak
istri. Jika itu dia lakukan juga, orang sekampung akan mencibirnya.

"Mak Adangmu itu sudah kena pakasiah bininyo."

Nada suara Mak mengiris. Muni merasakan kuduknya meremang.

"Kau lihat si Udin, teman Mak Adangmu itu. Dia itu justru membela
kemenakannya, menyekolahkannya, sampai semua jadi orang. Dia 'kan juga
punya anak bini. Bukan macam Mak Adangmu, membawa hasil tanah pusaka
ke rumah bininya. Benar-benar mamak yang tak tahu diadat."

Muni masih diam. Barangkali, diam adalah emas untuk saat ini. Dia
takut bicara, takut kalau nanti sampai kelepasan bicara. ya, baru
seberapalah pengetahuannya tentang adat, tentang bagi membagi harta
pusaka, tentang kewajiban mamak. Dia masih buta, makanya tak ingin
membantah.

"Kau tahu kenapa talang itu yang jadi persoalan."

Muni hanya menggeleng.

"Karena talang itu persis berada di batas tanah kita dan tanah dia.
Jadi Mak Adangmu berusaha menebangnya agar mudah menyerobot tanah
kita. Karena talang itu sebagai sepadan, jika talang itu ditebang,
sepadan tanah ini akan kabur. Mungkin saja setelah itu Mak Adangmu
akan menanam rumpun talang baru, jauh menjorok masuk ke tanah kita,
dan menyatakan kalau itu yang jadi sepadan."

Tiba-tiba rasa keadilan bermain di hati Muni. Tanpa mempersoalkan adat
mengenai pembagian pusaka, Muni justru melihat tak ada salahnya kalau
Mak mau bersabar, mau berlunak hati sedikit. Apalah artinya tanah yang
tujuh meter.

"Mak, kalau benar bagian kita lebih, apa salahnya kalau Mak Adang
menuntut. Bukankah lebih baik dibagi dua saja, persoalannya akan cepat
selesai."

Mata Mak berkilat, tanpa Muni bisa memaknakannya. Salahkah bicaranya.
Dada Mak yang memang sudah tipis, turun naik, seperti sesak napas.

"Tidak Muni. Tanah ini adalah pertahanan kita yang terakhir. Tempat
hidup mati kita. Mak Adangmu laki-laki, seharusnya dia pergi
meninggalkan tanah ini untuk kemenakannya dan mencari usaha lain untuk
kehidupan anak istrinya. Tak ada dalam adat kita, anak laki-laki
beroleh harta pusaka. Pusaka tinggi lagi."

"Tapi Mak, sengketa ini tak ada ujung pangkalnya. Kenapa kita tak
mengalah saja. Bukankah Mak yang mengatakan kalau mengalah bukan
berarti kalah. Mak, orang sabar dikasihi Tuhan, itu kata Mak bukan?
Mak, kalau Mak sabar, Mak akan masuk sorga."

"Benar Muni, tapi sabar ada batasnya. Betapa sejak kematian Abakmu
teror demi teror telah dilancarkan Mak Adangmu. Bukankah selama ini
dia basibagak saja? Buah kelapa seenaknya dia turun kan, begitu juga
buah merica yang esok mau dipanen tiba-tiba malamnya lenyap saja.
Siapa lagi yang punya kerja kalau bukan dia. Tapi kali ini tidak, Nak.
Kesemena-menaannya harus kita balas. Kau paham?"

Muni hanya menatap Mak dengan pandangan tak mengerti. Betapa sulit dia
mencerma jalan pikiran Mak. Karena tanah tiga setengah meter, Mak mau
berkeras kepala macam ini. Sekaligus Muni bingung dengan jalan pikiran
Mak Adang, kenapa dia begitu ngotot dengan kelebihan tanah Mak.
Bukankah Mak saudaranya juga.

Kalau dia jadi Mak, dia akan sukarela membagi dua tanah yang berlebih
itu. Atau kalau dia jadi Mak Adang, dia akan biarkan tanah berlebih
itu. Dan rumpun talang biarkan saja terus hidup subur atau dimusnahkan
benar. Apa sulitnya?

"Muni, dari sengketa ini, yang paling Mak pertahankan adalah harga
diri. Apa artinya hidup bila dengan keperkasaannya selaku laki-laki
dan mamak anakku satu-satunya, lalu dia seenaknya berbuat pada kita.
Tak ada yang berani menyanggah selama ini. Tapi tidak kini. Kali ini
akan Mak buktikan bahwa tak selamanya kita lemah. Ingat Muni, kita
sudah terlalu lama ditindas. Apakah harus maaf juga yang kita
tawarkan."

"Bagaimana kalau Mak Adang kalap dan menebang talang itu tanpa setahu
Mak?" Muni mengajuk kesungguhan Mak.

"Itu tak akan terjadi, Anakku. Begitu dia berani melakukannya, dia
akan segera tahu siapa Makmu ini."

Muni tertunduk. Mata Mak berkilat penuh dendam. Sinarnya terasa
membakar dada Muni. Sinar yang belum pernah dia saksikan selama ini.
Muni hanya tahu, Mak punya kesabaran, kelembutan dan kasih sayang
berlimpah. Sinar mata Mak biasanya penuh kasih yang tulus. Kenapa kini
berubah? Muni menggeleng tak mengerti. Benarkah penindasan yang selama
ini diterimanya dari Mak Adang telah membakar dada Mak dan biasnya
sampai di mata Mak.

"Kau satu-satunya anak perempuan Mak dan untuk kau pula warisan ini
kelak. Mak harap kau punya sikap yang sama, mempertahankan hak. Kau
paham, Anakku?" Muni hanya diam.

MAK ADANG adalah laki-laki yang baik, meski sedikit kasar. Itu yang
diingat Muni, kenangannya sepuluh tahun yang lalu. Kala itu Muni baru
delapan tahun.

Dengan menggendong Muni di punggungnya, Mak Adang akan berlari- kari
keci di pematang sawah, mengejar kerbau milik mereka. Atau dengan
senang hati Mak Adang akan mengajarinya menombang udang yang banyak
bersembunyi di balik batu sungai.

Juga masih diingat Muni, bagaimana dia menjerit-jerit ketakutan waktu
Mak Adang melemparnya dengan belut. Mak juga kerap memarahi Mak Adang,
karena tanpa rasa bersalah Mak Adang akan membawanya bertanggang
semalaman, menunggui buah durian.

Ketika Muni dikejar anjing, Mak Adang pula yang segera turun tangan.
Malah Mak Adang pula yang kemudian dikejar anjing itu, sehingga Mak
Adang ditabrak sepeda Pak Husin yang dikenal sebagai juragan rumput.

Tapi itu dulu. Benarkah kini Mak Adang telah berubah. Sepuluh tahun
memang bukan waktu yang pendek.

Menurut Mak, berkali-kali sudah sengketa antara dia dan Mak Adang
diselesaikan ninik mamak di mesjid, tapi tak pernah menjumpai titik
temu. Selalu saja, beberapa hari setelah itu akan terdengar lagi
ribut-ribut, antara Mak dan Mak Adangnya.

Muni tak bisa menerima jalan pikiran Mak, juga Mak Adang. Percuma Muni
mengatakan pada Mak, kalau sebagai anak perempuan satu- satunya dia
tidak ingin warisan. Dia tidak ingin memiliki tanah hasil dari
sengketa. Kalau bisa, malah Muni ingin membawa warisan pulang, ke desa
ini, setelah mencari penghidupan di kota lain.

Dalam renungannya, kadang Muni merasa menyesal dengan modernisasi yang
kini melanda desanya. Pertikaian antara Mak dan Mak Adang pun berawal
dari modernisasi ini. Dulu, kala desanya belum terja mah jalan aspal,
tak ada yang meributkan soal tanah. Semua ten teram dalam haknya
masing-masing.

Tapi begitu jalan raya membelah desa Muni, segalanya berubah. Tak ada
lagi derak roda pedati atau derit sepeda unta warga desa. Sekarang
raungan sepeda motor dan suara mesin mobil adalah sebuah keakraban
baru.

Karena itu pula tanah yang selama ini nyaris tak berharga, jadi
rebutan. Masyarakat desa berlomba-lomba membagi tanah warisan, lalu
menyertifikatkannya. Ada yang menjual kepada para pendatang. Padahal
setahu Muni, tanah warisan pusaka tinggi tak boleh dijual. Itu
merupakan pantangan. Tanah warisan tinggi hanya boleh dimanfaatkan
untuk kesejahteraan anak kemenakan.

Dan apa yang telah melanda warga desa, menjalar pula pada Mak Adang.
Dia ingin menyertifikatkan tanah bagiannya, karena ada yang sudah
menawar. Dengan bertambahnya luas tanah, itu berarti bertambah pula
jumlah uang yang akan masuk kantong Mak Adang.

Bagi Mak, menjual tanah pusaka tinggi sudah menyalahi aturan, apalagi
kini mamak anak-anaknya yang seharusnya membela dan melindunginya,
malah ikut merongrong dan selalu membuat hidup Mak tidak tenang.

"KEMBALILAH tidur, Nak. Kau telah paham sikap Mak. Tak banyak yang Mak
harapkan selain pembelaanmu terhadap pendirian Mak. Karena segalanya
ini Mak lakukan demimu, demi adik-adikmu," ujar Mak.

Muni kembali ke kamar dan telentang di atas balai-balai yang hanya
beralaskan kasur tipis. Di sinilah dia dan adik-adiknya harus saling
berbagi tempat, agar dapat tidur nyenyak. Muni mengeluh. Kenapa begitu
susah Mak diberi pengertian? Atau benar seperti kata Mak, bahwa dia
yang belum tahu apa-apa.

Kala malam merangkak semakin larut, sayup-sayup desau daun talang
terdengar riuh di telinga Muni. Lalu suara berisik, kemudian diam.
Tapi sejenak, kembali desau itu makin keras. Muni tak hendak bangun,
mungkin di luar sedang badai, pikirnya. Muni menarik selimut, lalu
memejamkan mata.

Dan kantuk itu berubah menjadi kekagetan luar biasa, kala malam
dipecahkan oleh lolong kesakitan. Arahnya seperti dari rumpun talang.
Tak lama kemudian, malam hingar bingar oleh hiruk suara orang kampung.
Lunglai Muni keluar, setelah tak menjumpai Mak dalam kamar. Dia
menyaksikan, kegelapan malam benderang oleh cahaya lampu petro mak.

Tiba-tiba malam kembali dipecah oleh suara jerit. Kali ini jerit Muni.
Di sana, di antara serakan batang-batang talang, terkapar tubuh Mak
Adang, penuh darah. Sementara dalam jarak tiga depa berdiri Mak,
dengan tangan masih memegang talang yang ujungnya diruncingkan. Talang
itu berlumuran darah.***










Pakasiah bininyo = guna-guna istrinya
Bako = keluarga dari pihak ayah
Basibagak = tidak peduli



by_Ellyza B Ahadi
Share:

Kepada Hujan

Kepada hujan aku berkata
Dimanakah kau berada ketika kemarau datang menyapa kami?
Ladang-ladang mongering
Karena dehidrasi
Mengelu-elukan dirimu
Menyemburkan setitik air untuk mempelancar irigasi

Apa kau tak melihat
Garangnya mentari menyengat dikala pagi dan petang
Menghisap liurliur kami sebagai persediaan
Untuk menelan makan nanti sore

Dimanakah tempat berlabuhmu
Biar ku jemput kau
Bersama segepok sesajen dan berbagai mantra
Agar kau datang dan menjenguk kami
Yang telah sakit
Dehitrasi tak kendali

by ellyca
Share:

Janji-Janjiku

ditangku kau bernapas lembut
mengalun merdu mengalir disetiap pori-pori jiwa
bergelimbang takhta terpatri bersama nada-nada cinta
ketika sembah sujudku kembali menyapa

tangganku menggenggam oleh sebuah penghargaan
menggalirkan gemericik-gemericik tetesan bola mata
mendekap harap butiran kesempatan
agar aku tetap bisa untuk selalu ada

berkencanmu denganku tak akan kekal
sampai aku daam gulungan tikar
janji-janjiku akan ku pertaruhkan
ketika kelak kau memanggilku dipadang mahsyar

by_ellyca
Share:

Edelweiss

Ku dengar abadi diujung sana
Berselimut kabut putih
Bersama embun-embun kasar menetes lembut
Diujung putik putihmu
Menghidangkan segala umpan merekahkan senyum kekalmu

Hidupmu putih keruh tanpa bintik dikelopak
Putih indahmu menari-nari lentik
Menanti surise merangkak dari peraduan

Sungguh pemandangan yang kekal
Nyawamu tak dapat digantikan
Membaur bersama angin dan musim
Diujung fajar maupun dibalik layar petang
Rekah tubuhmu melelehkan sepasang mata
Kepada semua yang memandang
Sekuntum bunga dipuncak keabadian

20 januari 2009

By_ellyca
Share:

Suatu Masa Dimana aku !

Di tumpukan buku-buku yang karatan
Ku jelajahi dunia dalam tiga dimensi
Kutemukan ribuan galaxi mengitari satu musim
Dimana aku dan jiwaku luruh
Bersama embun berjatuhan dikala pagi

Tampak sekilas aku berada
Terperangkap dalam masa
Dimana aku dalam tujuh lapis paling bawah
Bersama gerombolan debu-bebu hitam
Yang tak lain, hanyalah racun kehidupan
Dan dimana aku dalam tujuh lapis bumi paling atas
Bersama kumpulan ribuan kerbau dungu
Yang memiliki otak sebagai hiasan saja

Jiwaku luruh berbaur bersama angin
Ketika dinding peradaban mulai retak
Tergempur granit-granit melesat kuat
Dan,
Alur dimensi itu
Mengerogoti tubuhku untuk segera
Menutup perjelajahan dari tumpukan buku-buku
Membuat organ dan tubuhku remuk
Runtuh dibantalan kursi

by ellyca
Share:

Jejak Langkah di Menit Terakhir

Bebu-debu telah membusuk didadaku
Menyumbat celah diantara tulang-tulang iga
Menggembang-kempiskan kedua diafragma
Dalam tanah berkapur

Kakiku tlah kaku menjadi batu
Menyelusuri hidup diberbagai musim yang ada
Dimana musim barat tlah lama hilang dalam tubuhku
Dan kini angin petang tlah menjemput untuk pulang

Mataku nanar tergerus jiwa yang semakin rapuh
Terkapar jiwa renta diatas ranjang
Meninggalkan jejak-jejak langkah
Diatas tanah berkapur

Dimenit terakhir ini
aku tetap menjadi tanah yang berkapur
ingin ku hirup kembali musim semi esok pagi
sebelum aku menggendap
berbaur bersama tanah

by_ellyca
Share:

Diatas Hamparan sajadah

Sebelum bumi menggunyah fajar dipertiga malam
Kusapa sepi yang masih bercumbu dengan mimpi
Berpeluk diantara bunga-bunga tidur
Masih memutikkan cikal bakal kehidupan esok

Diatas hamparan sajadah yang membentang
Ku sampaikan rindu dalam sujudku
Membuncah pecah ditepian mata
Membanjiri pipi yang mengering

Malam-malammu yang berbisik adalah aku
Menganyam kata-kata yang telah lama
Mengering dipangkal lidah
Tak terbasuh setetes pun dengan air syurgamu

Biarkan aku selalu berlindung dipelukmu
Menyadarkan segala nasib yang belum tentu ada titik
Penuntun arah menyusun kerangka hari

by_ellyca
Share:
sometimes what we see is not the same as what we feel
sometimes what we feel is not the same as what we see
and sometimes what we hear is not the same as in the sayings
and sometimes what we say is not the same as what we say
conscience say it what you want to say and listen carefully to what you hear
Share:

tak ada sajak di bulan Juni

Tak ada lagi sajak yang biasa ku kirim padamu seperti bulan-bulan sebelumnya
Semuanya telah raib terampas pagi yang dingin
Mengigilkan segala bait yang menjadikannya beku dalam tubuhku

Juni telah membaca semuanya
Jika bulan ini aku akan mengirimimu sepenggal sajak terindah sebagai tanda mekarnya anggrek yang tertanam diberanda rumahku
Dengan sengaja ia mengodaku untuk betarung mengalahkan duri-duri yang ditaburkan di tengah perjalanan

Kini aku malu pada waktu yang mengiringku kedalam sebuah istana tertinggi dalam benakku
sebuah tempat dimana kutemukan tempat yang membuatku asyik bercinta dengan kata
Tanganku begitu lihai menawarkan bait-bait sajak yang menciptakan pelangi, terkadang hujan dimataku
Namun, kini tinggalah tetes-tetes embun sebagai butiran mata yang mewakili sajakku yang tertunda

Sepertinya juni telah mengisyaratkan padaku pada jauh-hauh hari sebelumya
jika sebuah kiriman itu harus segera di akhiri
karena sajak, bukanlah sebuah sajak yang biasa
sajak kekal akan luka dan derita mengerayangi tubuhku secara pelahan kala terbuai cinta tanpa sebuah logika



by: ellyca
19 Juni 2011/21:08
Share:

Edelweiss Flower

Tanggalan islami sudah berada diujung pergantian. Bulan tampak mulai tenggelam termakan Brotokolo diwaktu purnama malam ini. Kini beberapa hari lagi bulan asyura atau lebih dikenal dengan bulan syuro sudah didepan mata. Tempat pemujaan untuk pesugihan ramai dikunjungi, kuburan-kuburan para leluhur dipadati, tak ketinggalan perguruan pencak silat berbondong-bondong menyempurnakan ilmunya ikut beraksi. Begitu juga aku, ada rencana besar yang bergeming di dada.


Aku seorang anak yang terlahir sebagai anak tunggal dalam keluarga Wardoyo. Keluarga yang kaya raya di desa. Setiap gerak-gerikku diawasi dan dipantau selama 24 jam penuh. Semata-mata demi menjaga keselamatanku sebagai pewaris tunggal keluarga Wardoyo. Tidak heran setiap akan keluar, aku selalu diintrogasi habis-habisan. Dari ibuku yang overprotective menanyaiku setiap waktu. Tak terkecuali bapakku, pribadi yang keras dan aku harus memenuhi segala ucapannya.
“ Memangnya kamu mau kemana tow, nak?”
“Ke Bromo, aku ingin menghabiskan sisa liburan ini bersama teman-teman, Bu” ucapku dalam nada terbata-bata. Padahal ada suatu yang senggaja aku sembunyikan dari ibu. Aku ingin sekali melihat sebuah bunga yang selalu merekah sepanjang tahun, meskipun tersiram embun yang membuat ngilu serta sengatan sang mentari yang mematikan. Bunga itu, ya Edelweiss flower. Bunga yang selalu abadi dipuncak paling tertinggi.
“Tidak baik anak perempuan keluyuran begitu, apalagi tidak sama orang tua, Bahaya! “
Kata sesepuh dulu sebagai anak tunggal aku rawan sekali bepergian. Apalagi pada saat bulan syuro ini. Katanya banyak setan yang mengintai untuk sebagai sesembahan atau sering disebut dengan tumbal. Entahlah, mungkin itu hanya sebuah mitos saja. Sedangkan aku ingin sekali menyisir berbagai rintangan yang berbuah pengalaman berharga dan pengetahuan yang luas tanpa adanya ikatan besi yang memasung, serta satu impianku selama ini yang memblidak dihati. Menatap mekarnya bunga edelweiss dipuncak gunung yang sejuk. Bunga yang ku impikan sejak dulu.
Pagi-pagi selesai sarapan aku mendatangi teman SMA ku dulu. Dia adalah Ratih, dulu dia adalah salah satu teman akrabku, bisa dibilang soulmate. Namun kini kita telah dipisahkan oleh keadaan.karena dia diterima di perguruan tinggi negeri yang jauh dari desa kami. Sedangkan aku hanya berkuliah di dekat-dekat sini saja. Masih dengan alasan yang sama. Ratih semakin hitam dan pemberani juga. Dikampusnya dia mengikuti UKM (unit kegiatan mahasiswa) komunitas pecinta alam. Tak heran setiap satu bulan sekali dia mendaki gunung diberbagai daerah, dan sekarang giliran gunung Bromo didaerah Probolinggo sebagai tujuan selanjutnya. Dengan sepeda ontelku, aku sembunyi-sembunyi menemui Ratih dan teman-temannya yang sejak kemarin berkunjung kerumahnya.
“ Bagaimana Ratih, aku boleh ikut ?”
“ Apa kamu tidak dimarahi orang tuamu nanti kalau kamu ikut mendaki?”
“Ehm… asal aku boleh ikut, aku akan meyakinkan kedua orang tuaku?”jawabku dengan terengah-engah.
“ Baiklah” jawabnya sedikit ragu.
“oh iya, kalau kamu jadi ikut kami , komunitas PA akan berangkat besok lusa pada tahun baru hijriah. “Ratih memperjelas”
Aku hanya menganggukan kepalaku dan segera kembali pulang kerumah.waktu telah menghampi dzuhur, saatnya bapak pulang dari swahnya. Dalam perjalanan pulang, aku kembali memutar otak, alasan apa yang ampuh untuk menyerang argumen-argumen yang akan digunakan orang tuaku. celakalah, aku terlambat 5 menit pulang kerumah. Bapak telah sampai lebih dulu dan menghadangku di depan pintu.
“Dari mana kamu, nak? Ayah mencarimu dari tadi ” Dengan wajah berkerut didahinya.”
“Aku dari rumah Ratih, pak” Tubuhku gemetar
“Sedang apa kamu kesana, tidak cukup larangan ibumu tadi malam?” Bapakku mulai naik darah.
“Sudah dibilangi dari kemarin, Bromo itu tempat berbahaya. Disana penduduknya orang—orang lain agama dengan kita. Banyak sesajen disetiap sudut rumah. Apalagi pada waktu bulan syuro, gunung Bromo dijadikan sesembahan, tempat pembuangan sesajen. Bahaya!.”
Aku hanya tertunduk diam dan segera lari menuju kamar yang wajahnya merah. Dalam batinku, jika tujuan kita baik kesana dan bertujuan berlibur dan kita datang tidaka mengganggu mereka pasti tidak akan terjadi apa-apa. Karena itu merupakan bentuk ibadah mereka kepada tuhannya. Kita sebagai warga negara yang demokratis wajib menghormat dan menghargai bentuk apapun dan sekecil apapun dari ibadah mereka, sedangkan yang dibilang bapakku itu, semua hanyalah mitos. Yang dipercayai oleh orang jawa dan dijadikan adat yang tak tahu asal-usulnya jika ditanyakan. Jawabannya adalah berasal dari nenek moyang kamu. Begitu seterusnya.
“Turutilah apa perintah kami, nak? Semua ini demi kebaikanmu juga.” Kata ibu yang mengejarku dari ruang tengah.
“Aku hanya ingin berlibur, Bu. Aku ingin melihat yang namanya bunga edelweiss itu. Bunga yang selalu diucapkan teman-teman sekelasku waktu SMA dulu.” Impian yang ku sembunyikan dari ibu terucap jua.”
“Selama ini aku sudah menuruti ibu dan bapak. Kali ini, izinkanlah Bu?” aku bersujud dikaki ibu yang duduk diranjang kamarku.
Meskipun berat hati, akhirnya ibu mengizinkan aku untuk berlibur bersama Ratih dan teman-temannya. Namun restu itu hanya aku dapatkan dari ibu. Sedangkan bapak tetap pada pendiriannya. Beruntunglah, selama tiga hari bapakku akan berkunjung kemakam wali. Memenuhi undangan dari perangkat desa.
Sebongkah mentari masih enggan memerakkan sinar ke bumi. Berselimut menyergap bersama tetes-tetes embun membasuh raut muka. Begitu juga aku, hatiku berdegub kencang tidak sabar pemberangkatan tiba. Sedangkan bapak, mulai pukul 02.00 dini hari telah dijemput oleh rombongan untuk berangkat. Karena yang ditempuh lumayan jauh.
“Jaga anakmu semata wayang itu, Bu. Jangan sampai dia keluar rumah. Besok sudah tahun baru hijriyah. Bahaya!” sambil berjalan mengintipku didalam kamar.
“Baiklah, pak . percayalah pada ibu. Bapak hati-hati dijalan.”
“Kalau begitu aku berangkat dulu. Assalamualaikum!”
”Waalaikumsalam.” Sambil menutup pintu
Kini giliranku memepersiapkan mental menyambut Bromo, berkhayalah ditengah hamparan edelweiss memagari tebing-tebing yang semakin tinggi , semakin curam. Dengan doa ibu, aku langkahkan kaki keluar dari rumah.
“Hati-hati anakku, berdoalah selalu untuk meminta keselamatan.” ibuku tersenyum cemas.”
“Aku akan selalu menjaga diri.” Aku tersenyum dengan mencium tangan dari kedua pipi ibu yang dingin sedikit gemetaran.
Hari ini aku, Ratih dan rombongan siap untuk berjuang untuk menaklukkan gunung Bromo. Roda bus berputar-putar melaju kian cepat. Semakin cepat meninggalkan Desa kami. Tubuhku terasa seperti terbang tanpa ada sangkar yang menghalangi untuk bebas. Terasa mimpi-mimpi yang terindah di gelap semua mimpi-mimpi yang ku selama ini. Dalam benakku, aku telah menyusun hal-hal apa yang akan ku lakukan dalam pendakian nanti. Saking senangnya membuat tubuhku digerogoti rasa lelah dan mengantuk membius mataku yang menyala kegirangan.
Sekitar pukul 3 sore bus yang mengantar kami memasuki kota Probolinggo, tepatnya didaerah Tengger. Udaranya mulai menusuk tulang, sampai-sampai bus tak ingin dekat-dekat menuju puncak. Dengan stater yang pol, bus merangkak sedikit demi sedikit menapaki bukit dengan getstur yang curam. Mulutku bergumam tak henti-hentinya mengucapkan doa kepada sang maha kuasa sampai tiba ditempat yang kami tuju. Kabut-kabut putih semakin tebal menyelimuti tubuh kecilku. Tubuhku semakin menggelembung saja. Tertumpuk jaket tebal lengkap dengan syal yang tebal. Sedangkan lainnya, hanya berkaos oblong dengan celana pendek mulai menghirup udara dingin di sekelilingnya. Munkin sudah terbiasa dengan hawa-hawa yang membuat tubuhku semakin ngilu.
Senja kian larut bersama kabut-kabut yang menghempaskan dingin dibadan. Kami bersantai sejenak dengan memasang api unggun di depan villa. Lirih-lirih alunan music gitar akustik menambah hangatnya tubuh. Mulut kami bergerak-gerak menyenandungkan beberapa lagu mulai dari dangdut sampai lagu pop. Selang waktu berganti ada suara gaduh dari timur lingkaran kami. Salah satu teman kami ada yang kesurupan. Dia berteriak-teriak tak jelas diucapkan. Suasa menjadi genting dan kalut. Beruntunglah suara itu hanya beberpa menit saja. Karena salah seorang mencoba mengobatinya.
“jagalah berperilaku kalian jika ingin selamat disini.” Bapak setengah baya itu memeringati.
“ Maap sebelumnya, Pak. Apa yang telah kami lakukan sehingga terjadi hal ini ?”
Kami semua binggung.
“Setiap warga disini beribadah selama 4 kali sehari disaat jam-jam tetentu. Jam 6 pagi dan petang, serta jam 12 siang dan malam.”
Tubuh kami bergetar, darah terasa mendidih mengungkapkan udara panas. Malam kian mencekam diantara sela-sela waktu yang tergolong sore bagi kami. Begitu juga hasraku untuk memetik edelweiss kian pupus saja tertutup kabut malam. Namun dengan hati bersih, kami menyiapkan mental untuk tetap mendaki.
Jari-jariku semakin kaku, tubuhku semakin ngilu ketika jarum jam mengarah pukul 02.00 dini hari. Kudapati dingin begitu erat. Salah seorang ketua rombongan memberi aba-aba untuk bersiap-siap mendaki.
“Sebentar lagi pendakian dimulai. Siapkan pembekalan kalian.”
Bersama Ratih, kita berpegang erat-erat agar tidak terpisahdari rombongan. Rasa dingin yang membekukan tentang berubah menjadi hangat terbakar rasa penantian untuk segera memetik edelweiss dipuncak gunung Bromo.
“Bromo, aku dataaaaang! Izinkan aku memetik edelweiss” gumamku dalam hati menjerit keras.
Rute yang panjang, pendakian semakin curam melesat tinggi keatas. Sekitar pukul 04.00 pagi puncak didepan mata. Sunrise yang begitu indah, sang mentari memercikkan sinarnya. Dengan menatap lautan kabut yang menutupi bukit-bukit dibawahnya. Satu selalu ku ingat, memetik bunga edelweiss di puncak gunung Bromo. Untuk ku persembahkan untuk yang selalu melindungiku dikala terik dan dingin menyerang tubuh. Sebagai tanda kemampuanku menantang kerikil-kerikil Bromo.
Mentari semakian tersenyum, kian gencar memancarkan butir-butir sinarnya. tak lama kemudian.
“berkumpul!” teriak pemimpin rombongan dari kejauhan
“kita telah berhasil mendaki dengan selamat, mari rentangkan tangan untuk kesuksesan kita.”
“Bromo kita berhasil !” suara membeludak memutari bebatuan gunung-gungung Bromo dan menghapus kabut-kabut putih yang menempel di muka kami.
Aku tapi langkah demi langkah meninggalkan puncak gunug dengan setangkai bunga edelweiss yang ada di genggamanku menjadi saksi bisu keberhasilanku membuktikan mitos kedua orangtuaku. Entahlah apa yang dilakukan bapak ketika aku pulang nanti. Mendapati aku yang lusuh dengan bunga Edelweiss di genggaman tangan.

by: elliza
Share:
Instagram

Label

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.