Tanggalan islami sudah berada diujung pergantian. Bulan tampak mulai tenggelam termakan Brotokolo diwaktu purnama malam ini. Kini beberapa hari lagi bulan asyura atau lebih dikenal dengan bulan syuro sudah didepan mata. Tempat pemujaan untuk pesugihan ramai dikunjungi, kuburan-kuburan para leluhur dipadati, tak ketinggalan perguruan pencak silat berbondong-bondong menyempurnakan ilmunya ikut beraksi. Begitu juga aku, ada rencana besar yang bergeming di dada.
Aku seorang anak yang terlahir sebagai anak tunggal dalam keluarga Wardoyo. Keluarga yang kaya raya di desa. Setiap gerak-gerikku diawasi dan dipantau selama 24 jam penuh. Semata-mata demi menjaga keselamatanku sebagai pewaris tunggal keluarga Wardoyo. Tidak heran setiap akan keluar, aku selalu diintrogasi habis-habisan. Dari ibuku yang overprotective menanyaiku setiap waktu. Tak terkecuali bapakku, pribadi yang keras dan aku harus memenuhi segala ucapannya.
“ Memangnya kamu mau kemana tow, nak?”
“Ke Bromo, aku ingin menghabiskan sisa liburan ini bersama teman-teman, Bu” ucapku dalam nada terbata-bata. Padahal ada suatu yang senggaja aku sembunyikan dari ibu. Aku ingin sekali melihat sebuah bunga yang selalu merekah sepanjang tahun, meskipun tersiram embun yang membuat ngilu serta sengatan sang mentari yang mematikan. Bunga itu, ya Edelweiss flower. Bunga yang selalu abadi dipuncak paling tertinggi.
“Tidak baik anak perempuan keluyuran begitu, apalagi tidak sama orang tua, Bahaya! “
Kata sesepuh dulu sebagai anak tunggal aku rawan sekali bepergian. Apalagi pada saat bulan syuro ini. Katanya banyak setan yang mengintai untuk sebagai sesembahan atau sering disebut dengan tumbal. Entahlah, mungkin itu hanya sebuah mitos saja. Sedangkan aku ingin sekali menyisir berbagai rintangan yang berbuah pengalaman berharga dan pengetahuan yang luas tanpa adanya ikatan besi yang memasung, serta satu impianku selama ini yang memblidak dihati. Menatap mekarnya bunga edelweiss dipuncak gunung yang sejuk. Bunga yang ku impikan sejak dulu.
Pagi-pagi selesai sarapan aku mendatangi teman SMA ku dulu. Dia adalah Ratih, dulu dia adalah salah satu teman akrabku, bisa dibilang soulmate. Namun kini kita telah dipisahkan oleh keadaan.karena dia diterima di perguruan tinggi negeri yang jauh dari desa kami. Sedangkan aku hanya berkuliah di dekat-dekat sini saja. Masih dengan alasan yang sama. Ratih semakin hitam dan pemberani juga. Dikampusnya dia mengikuti UKM (unit kegiatan mahasiswa) komunitas pecinta alam. Tak heran setiap satu bulan sekali dia mendaki gunung diberbagai daerah, dan sekarang giliran gunung Bromo didaerah Probolinggo sebagai tujuan selanjutnya. Dengan sepeda ontelku, aku sembunyi-sembunyi menemui Ratih dan teman-temannya yang sejak kemarin berkunjung kerumahnya.
“ Bagaimana Ratih, aku boleh ikut ?”
“ Apa kamu tidak dimarahi orang tuamu nanti kalau kamu ikut mendaki?”
“Ehm… asal aku boleh ikut, aku akan meyakinkan kedua orang tuaku?”jawabku dengan terengah-engah.
“ Baiklah” jawabnya sedikit ragu.
“oh iya, kalau kamu jadi ikut kami , komunitas PA akan berangkat besok lusa pada tahun baru hijriah. “Ratih memperjelas”
Aku hanya menganggukan kepalaku dan segera kembali pulang kerumah.waktu telah menghampi dzuhur, saatnya bapak pulang dari swahnya. Dalam perjalanan pulang, aku kembali memutar otak, alasan apa yang ampuh untuk menyerang argumen-argumen yang akan digunakan orang tuaku. celakalah, aku terlambat 5 menit pulang kerumah. Bapak telah sampai lebih dulu dan menghadangku di depan pintu.
“Dari mana kamu, nak? Ayah mencarimu dari tadi ” Dengan wajah berkerut didahinya.”
“Aku dari rumah Ratih, pak” Tubuhku gemetar
“Sedang apa kamu kesana, tidak cukup larangan ibumu tadi malam?” Bapakku mulai naik darah.
“Sudah dibilangi dari kemarin, Bromo itu tempat berbahaya. Disana penduduknya orang—orang lain agama dengan kita. Banyak sesajen disetiap sudut rumah. Apalagi pada waktu bulan syuro, gunung Bromo dijadikan sesembahan, tempat pembuangan sesajen. Bahaya!.”
Aku hanya tertunduk diam dan segera lari menuju kamar yang wajahnya merah. Dalam batinku, jika tujuan kita baik kesana dan bertujuan berlibur dan kita datang tidaka mengganggu mereka pasti tidak akan terjadi apa-apa. Karena itu merupakan bentuk ibadah mereka kepada tuhannya. Kita sebagai warga negara yang demokratis wajib menghormat dan menghargai bentuk apapun dan sekecil apapun dari ibadah mereka, sedangkan yang dibilang bapakku itu, semua hanyalah mitos. Yang dipercayai oleh orang jawa dan dijadikan adat yang tak tahu asal-usulnya jika ditanyakan. Jawabannya adalah berasal dari nenek moyang kamu. Begitu seterusnya.
“Turutilah apa perintah kami, nak? Semua ini demi kebaikanmu juga.” Kata ibu yang mengejarku dari ruang tengah.
“Aku hanya ingin berlibur, Bu. Aku ingin melihat yang namanya bunga edelweiss itu. Bunga yang selalu diucapkan teman-teman sekelasku waktu SMA dulu.” Impian yang ku sembunyikan dari ibu terucap jua.”
“Selama ini aku sudah menuruti ibu dan bapak. Kali ini, izinkanlah Bu?” aku bersujud dikaki ibu yang duduk diranjang kamarku.
Meskipun berat hati, akhirnya ibu mengizinkan aku untuk berlibur bersama Ratih dan teman-temannya. Namun restu itu hanya aku dapatkan dari ibu. Sedangkan bapak tetap pada pendiriannya. Beruntunglah, selama tiga hari bapakku akan berkunjung kemakam wali. Memenuhi undangan dari perangkat desa.
Sebongkah mentari masih enggan memerakkan sinar ke bumi. Berselimut menyergap bersama tetes-tetes embun membasuh raut muka. Begitu juga aku, hatiku berdegub kencang tidak sabar pemberangkatan tiba. Sedangkan bapak, mulai pukul 02.00 dini hari telah dijemput oleh rombongan untuk berangkat. Karena yang ditempuh lumayan jauh.
“Jaga anakmu semata wayang itu, Bu. Jangan sampai dia keluar rumah. Besok sudah tahun baru hijriyah. Bahaya!” sambil berjalan mengintipku didalam kamar.
“Baiklah, pak . percayalah pada ibu. Bapak hati-hati dijalan.”
“Kalau begitu aku berangkat dulu. Assalamualaikum!”
”Waalaikumsalam.” Sambil menutup pintu
Kini giliranku memepersiapkan mental menyambut Bromo, berkhayalah ditengah hamparan edelweiss memagari tebing-tebing yang semakin tinggi , semakin curam. Dengan doa ibu, aku langkahkan kaki keluar dari rumah.
“Hati-hati anakku, berdoalah selalu untuk meminta keselamatan.” ibuku tersenyum cemas.”
“Aku akan selalu menjaga diri.” Aku tersenyum dengan mencium tangan dari kedua pipi ibu yang dingin sedikit gemetaran.
Hari ini aku, Ratih dan rombongan siap untuk berjuang untuk menaklukkan gunung Bromo. Roda bus berputar-putar melaju kian cepat. Semakin cepat meninggalkan Desa kami. Tubuhku terasa seperti terbang tanpa ada sangkar yang menghalangi untuk bebas. Terasa mimpi-mimpi yang terindah di gelap semua mimpi-mimpi yang ku selama ini. Dalam benakku, aku telah menyusun hal-hal apa yang akan ku lakukan dalam pendakian nanti. Saking senangnya membuat tubuhku digerogoti rasa lelah dan mengantuk membius mataku yang menyala kegirangan.
Sekitar pukul 3 sore bus yang mengantar kami memasuki kota Probolinggo, tepatnya didaerah Tengger. Udaranya mulai menusuk tulang, sampai-sampai bus tak ingin dekat-dekat menuju puncak. Dengan stater yang pol, bus merangkak sedikit demi sedikit menapaki bukit dengan getstur yang curam. Mulutku bergumam tak henti-hentinya mengucapkan doa kepada sang maha kuasa sampai tiba ditempat yang kami tuju. Kabut-kabut putih semakin tebal menyelimuti tubuh kecilku. Tubuhku semakin menggelembung saja. Tertumpuk jaket tebal lengkap dengan syal yang tebal. Sedangkan lainnya, hanya berkaos oblong dengan celana pendek mulai menghirup udara dingin di sekelilingnya. Munkin sudah terbiasa dengan hawa-hawa yang membuat tubuhku semakin ngilu.
Senja kian larut bersama kabut-kabut yang menghempaskan dingin dibadan. Kami bersantai sejenak dengan memasang api unggun di depan villa. Lirih-lirih alunan music gitar akustik menambah hangatnya tubuh. Mulut kami bergerak-gerak menyenandungkan beberapa lagu mulai dari dangdut sampai lagu pop. Selang waktu berganti ada suara gaduh dari timur lingkaran kami. Salah satu teman kami ada yang kesurupan. Dia berteriak-teriak tak jelas diucapkan. Suasa menjadi genting dan kalut. Beruntunglah suara itu hanya beberpa menit saja. Karena salah seorang mencoba mengobatinya.
“jagalah berperilaku kalian jika ingin selamat disini.” Bapak setengah baya itu memeringati.
“ Maap sebelumnya, Pak. Apa yang telah kami lakukan sehingga terjadi hal ini ?”
Kami semua binggung.
“Setiap warga disini beribadah selama 4 kali sehari disaat jam-jam tetentu. Jam 6 pagi dan petang, serta jam 12 siang dan malam.”
Tubuh kami bergetar, darah terasa mendidih mengungkapkan udara panas. Malam kian mencekam diantara sela-sela waktu yang tergolong sore bagi kami. Begitu juga hasraku untuk memetik edelweiss kian pupus saja tertutup kabut malam. Namun dengan hati bersih, kami menyiapkan mental untuk tetap mendaki.
Jari-jariku semakin kaku, tubuhku semakin ngilu ketika jarum jam mengarah pukul 02.00 dini hari. Kudapati dingin begitu erat. Salah seorang ketua rombongan memberi aba-aba untuk bersiap-siap mendaki.
“Sebentar lagi pendakian dimulai. Siapkan pembekalan kalian.”
Bersama Ratih, kita berpegang erat-erat agar tidak terpisahdari rombongan. Rasa dingin yang membekukan tentang berubah menjadi hangat terbakar rasa penantian untuk segera memetik edelweiss dipuncak gunung Bromo.
“Bromo, aku dataaaaang! Izinkan aku memetik edelweiss” gumamku dalam hati menjerit keras.
Rute yang panjang, pendakian semakin curam melesat tinggi keatas. Sekitar pukul 04.00 pagi puncak didepan mata. Sunrise yang begitu indah, sang mentari memercikkan sinarnya. Dengan menatap lautan kabut yang menutupi bukit-bukit dibawahnya. Satu selalu ku ingat, memetik bunga edelweiss di puncak gunung Bromo. Untuk ku persembahkan untuk yang selalu melindungiku dikala terik dan dingin menyerang tubuh. Sebagai tanda kemampuanku menantang kerikil-kerikil Bromo.
Mentari semakian tersenyum, kian gencar memancarkan butir-butir sinarnya. tak lama kemudian.
“berkumpul!” teriak pemimpin rombongan dari kejauhan
“kita telah berhasil mendaki dengan selamat, mari rentangkan tangan untuk kesuksesan kita.”
“Bromo kita berhasil !” suara membeludak memutari bebatuan gunung-gungung Bromo dan menghapus kabut-kabut putih yang menempel di muka kami.
Aku tapi langkah demi langkah meninggalkan puncak gunug dengan setangkai bunga edelweiss yang ada di genggamanku menjadi saksi bisu keberhasilanku membuktikan mitos kedua orangtuaku. Entahlah apa yang dilakukan bapak ketika aku pulang nanti. Mendapati aku yang lusuh dengan bunga Edelweiss di genggaman tangan.
by: elliza