Please enable JavaScript to access this page. Jejak Kolonial yang Terancam Punah, Akankah Lamongan Akhirnya Menjadi Kota Tanpa Pernah Dijajah? ~ Kaki Semut

Jejak Kolonial yang Terancam Punah, Akankah Lamongan Akhirnya Menjadi Kota Tanpa Pernah Dijajah?

Indonesia mengalami penjajahan oleh Belanda dalam kurun waktu yang sangat lama, yakni selama 350 tahun. Jejak Kolonial selama penjajahanpun tersebar hampir diseluruh Nusantara tak terkecuali di Kabupaten Lamongan. Jejak Kolonial di Kabupaten Lamongan lebih banyak dijumpai di wilayah Kecamatan Babat daripada di wilayah Kecamatan Kota Lamongan. Di kota tua Babat, sampai detik ini masih berdiri bangunan-bangunan Kolonial, seperti gedung bekas markas CTN (Corps Tjadangan Nasional), Rumah Bekas Koramil Babat, gedung Garuda, Kantor Polsek Babat, Stasiun Babat, Jembatan Cincim, Rumah Panggung milik PT KAI, dan beberapa bangunan kolonial lainnya yang sudah menjadi hak milik swasta/pribadi.
Bangunan-bangunan peninggalan Belanda tersebut mempunyai riwayat dan kesejarahannya masing-masing. Sayangnya, ada diantaranya yang terlantar dan hampir roboh akibat kurangnya perawatan. Seperti yang dialami gedung bekas markas CTN (Corps Tjadangan Nasional), nasib gedung yang dibangun megah ini sangatlah memprihatinkan dan terancam ambruk. Karena dibiarkan kosong dan tidak dirawat, akibatnya beberapa bagian bangunan mengalami pelapukan dan roboh karena termakan usia. Pohon Beringin beserta akarnya-pun ikut menghiasi dinding dan atap bangunan mewah yang menjadi saksi bisu perjalanan pendudukan Belanda di wilayah Lamongan.
Jika dilihat dari bangunannya yang megah dan luas, bangunan CTN ini patut diduga dulunya adalah bekas kantor Kawedanan, dan kemudian digunakan sebagai markas CTN pada tahun 1950-an. Kawedanan adalah wilayah administrasi kepemerintahan yang berada di bawah Kabupaten dan di atas Kecamatan yang berlaku pada masa Hindia Belanda. Pada tahun 1930-1935, Lamongan terbagi menjadi 5 wilayah Kawedanan, yakni: Lamongan, Ngimbang, Babat, Sukodadi, dan Paciran. Semenjak itu Kawedanan Tengahan, Gunung Kendeng, dan Lengkir, sudah dihapus dari peta Kabupaten Lamongan. Kawedanan Babat meliputi Kecamatan atau Onderdistrik: Babat, Kedungpring, Majenang, Modo, dan Sugio. [Sumber: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan, Lamongan Memayu Raharjaning Praja, hlm. 38-42]. Jadi, bangunan bekas markas CTN ini diduga dibangun karena adanya perpindahan Kawedanan dari Lengkir ke Babat, dan jarak antara Lengkir dengan Babat sendiri tidaklah jauh. Di tahun 1913, Lengkir masih berstatus sebagai Kawedanan dan Babat masih berstatus sebagai Kecamatan atau Onderdistrik dibawah Kawedanan Lengkir.
Dari informasi yang saya dapatkan, status kepemilikan gedung CTN ini ternyata masih dalam sengketa, antara klaim warga dan posisi TNI (Koramil Babat) yang menempati sebagian bangunan, mengingat gedung ini dulunya pernah menjadi markas CTN. Terlepas dari status kepemilikannya yang masih sengketa, pemerintah daerah sebenarnya berhak untuk menetapkan status bangunan tersebut sebagai Cagar Budaya berdasarkan arti pentingnya bangunan tersebut dalam perjalanan sejarah Lamongan. Perlu untuk digaris bawahi, bahwa status kepemilikan bangunan tidak akan menggugurkan status Cagar Budaya, begitu pula sebaliknya. Sebenarnya jika dirawat dengan baik, gedung ini mempunyai potensi besar untuk dijadikan lokasi wisata sejarah di Babat. Bangunan yang mempunyai halaman luas, baik halaman depan maupun belakang ini, juga sangat cocok untuk digunakan kegiatan pentas seni.
Nasib gedung CTN berbanding terbalik dengan bangunan yang ada didepannya, yakni kantor Polsek Babat. Bangunan peninggalan Kolonial ini bisa dibilang masih terawat dan terjaga dengan baik karena masih ditempati. Menurut rekam sejarahnya, gedung Kolonial yang sekarang difungsikan sebagai Kantor Polsek Babat ini, dulunya adalah sebuah bangunan Rumah Sakit milik Marbrig (Mariniers Brigade atau Koninklijk Nederlandse Marine Korps). Gedung ini juga menjadi saksi bisu Agresi Militer Belanda I dan II. Setelah Agresi Militer Belanda berakhir, bangunan ini difungsikan menjadi kantor Polisi dan asrama polisi pada sekitar tahun 1950-an.
Babat juga mempunyai bangunan Kolonial lainnya yang unik, seperti pada bangunan gudang yang ada di pasar Babat. Gedung bekas gudang beras atau sembako di zaman Kolonial ini pada bagian atas bangunannya terdapat logo Bintang Daud atau David Star yang mirip dengan Bendera Israel. Sebuah bintang bersudut enam yang menggabungkan dua segitiga sempurna, segitiga yang menghadap keatas disebut Purusa dan yang menghadap kebawah disebut Prakarti. Bangunan-bangunan peninggalan Belanda di Babat yang status kepemilikannya sudah menjadi hak milik swasta maupun pribadi, masuk dalam kategori rawan punah, karena mudah diperjualbelikan untuk kepentingan bisnis, sehingga memiliki potensi untuk dirobohkan dan dijadikan bangunan baru.
Pemerintah terkait harus segera mengambil langkah konkret sebagai bentuk penyelamatan dan perlindungan. Pemerintah daerah melalui dinas terkait harus segera melakukan kajian serta pendataan dan selanjutnya ditindaklanjuti dengan penetapan Cagar Budaya oleh pemerintah daerah berupa SK Bupati. Status Cagar Budaya sangatlah penting karena bangunan-bangunan Kolonial tersebut akan mendapatkan payung hukum sehingga akan lebih terjamin kelestariannya. Penetapan Cagar Budaya juga harus disertai dengan pemberian bantuan biaya perawatan, perbaikan, serta dukungan tenaga ahli. Agar pemilik bangunan tidak merasa keberatan dan terbebani, sehingga mereka tidak akan pernah mempunyai pikiran untuk menjualnya atau merobohkannya. Bangunan dan tanah memang bisa dinilai dan dibeli dengan uang, akan tetapi bukti sejarah tidak akan bisa dinilai dan tidak akan bisa dibeli dengan uang.
Kepunahan bangunan-bangunan Kolonial akan berdampak buruk bagi generasi muda penerus bangsa. Jika di suatu daerah sudah kehilangan jejak Kolonialnya, bukan tidak mungkin kalau ada anggapan dari para pemudanya, bahwa daerahnya tidak pernah dijajah. Hal ini otomatis akan berdampak pada rasa Nasionalisme dan Semangat 45 mereka. Sebagai informasi tambahan, Lamongan sebenarnya mempunyai tokoh pemuda yang patut untuk dibanggakan dan dijadikan panutan. Pemuda tersebut adalah Daindancho Latif Hendraningrat, pemuda asli Kedungpring - Lamongan ini adalah seorang tentara Peta dari Babat yang dipindah tugaskan ke Rengasdengklok. Ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, pemuda Latif Hendraningrat, putera Lamongan inilah yang dipercaya sebagai petugas pengibar Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. [Sumber: Achmad Chambali, Menelusuri Sejarah Kabupaten Lamongan. Penerbit Majelis Taklim Islamiyah Lamongan, 2006, hlm. 84-85].
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram

Postingan Populer

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.