Please enable JavaScript to access this page. Sengketa ~ Kaki Semut

Sengketa

"PERSOALANNYA bukan harta, Anakku. Tapi hak. Tanah ini adalah milik
kita yang sah, apapun yang terjadi kita harus mempertahan kannya."

"Benar soal hak, tapi haruskah untuk itu kita saling bermusuhan.
Haruskah karena itu kita saling dendam. Mak yang mengajari dulu,
mengalah bukan berarti kalah. Tapi kenapa sekarang Mak tak mau
mengalah?"

Perempuan tua yang dipanggil Mak oleh anak perawannya tersebut hanya
diam. Dadanya yang cuma dibalut kutang tua, memperlihatkan dengan
jelas susunan tulang-tulang di dadanya turun naik, seperti menahan
sesak yang tak kunjung lepas.

"Muni, kau masih terlalu muda untuk memahami arti sebidang tanah bagi
kita. Kelak bila kau dewasa, menjadi ibu, kemudian menjadi tua seperti
Mak-mu ini, kau juga akan bersikap sama. Ingat Muni, sejauh-jauh pergi
merantau, tanah kampung tetap punya arti."

Setelah itu diam. Tak ada yang ingin mulai berujar. Sayup-sayup suara
jengkrik memecah malam. Sedangkan cahaya kunang-kunang kelap-kelip,
menyelinap masuk lewat dinding tadir.

Muni, gadis yang baru masuk dalam kehidupan desa setelah lebih enam
tahun ikut bako-nya di kota, tak mampu memejamkan mata, setelah
percakapan itu. Betapa desa telah sarat dengan keganji lan, juga
Mak-nya. Dulu wanita itu amat patuh, lugu dan pendiam, layaknya
seorang wanita desa. Tapi kini? Betapa Mak menjadi keras hati dan
pantang menyerah.

Enam tahun di kota, sampai Muni menamatkan SMA, betapa lamanya jarak
itu. Jarak yang telah mampu mengubah segalanya, juga wajah desa, yang
saat di kota amat dia rindukan. Tak ada lagi jalan setapak menuju
kali, tempat dulu dia bersuka ria. Tak lagi ada anak perawan dengan
tudung lebar menampi padi di pinggir sawah. Tak juga ada lenguh
kerbau, suara itik serta bau lumpur yang menyengat. Jalan setapak
telah berubah menjadi jalan aspal. Sawah telah menjadi rumah-rumah.

Yang tak berubah hanyalah pondok tempat Muni, adik-adiknya serta Mak
menghabiskan hari-hari mereka. Pondok beratap rumbia, berlantai papan
dengan dinding tadir, berukuran enam kali enam meter. Lalu serumpun
talang di pekarangan samping kanan, yang nampaknya makin rimbun saja.

Dari balik dinding kamar tidur, Muni menangkap suara gesekan daun-daun
talang, lemah tapi mendayu. Seperti suara anak perawan yang berdendang
lirih, menangisi kematian sang tunangan. Dulu, talang itu kerap dia
tebang untuk mendapatkan satu ruas buat celengan. Atau jika bulan
maulud tiba, talang itu akan jadi korban, dijadikan wadah membuat
lemang.

Ketika seminggu lalu kembali Muni menginjakkan kaki di desa, dia lihat
talang itu berpagar kawat duri. Rimbunan daunnya meliuk- liuk ke
pondok mereka, membuat suasana kelam jadi sendu. Kala Muni pergi,
talang itu hanya serumpun kecil, tapi kini sudah merupakan sebuah
lingkaran dengan rumpun besar.

Di bawah talang itu pula kemarin dia lihat Mak Adang-nya
mengacung-acungkan parang.

RUMPUN talang itu sudah ada sejak lama, jauh sebelum Muni lahir. Dan
rumpun talang itu telah disepakati menjadi batas tanah mereka, tanah
Mak dan Mak Adang-nya. Sedangkan batas tanah Mak dan Etek-nya adalah
batang mangga besar di samping kiri pondok mere ka. Tanah pusaka
tinggi yang telah dibagi-bagi itu menjadi sumber kehidupan mereka;
Mak, Mak Adang dan Etek-nya.

Di atas tanah yang luasnya 500 meter itu ada pohon kelapa, garda
munggu dan merica. Ada juga tanaman muda berupa ubi dan cabe. Dalam
resah, Muni ingin menatap keluar, menatap ke arah rumpun talang. Tapi
bulan yang belum lagi keluar, membuat mata Muni tak menampak apa-apa,
selain gelap. Padahal Muni ingin sekali meli hat, malam ini, pesona
apa gerangan yang ada di rumpun talang itu, sehingga Mak dan Mak Adang
begitu kuat memperebutkannya.

"MUNI, kau belum tidur 'kan? Keluarlah, Mak ingin bicara."

Panggilan Mak memutus angannya. Perlahan Muni turun dan berjalan
menemui Mak. Mak dengan sirih di mulut, tembakau di tangan, tengah
menatap jauh ke luar, ke balik dinding tadir. Dalam remang cahaya
lampu damar kerut wajah Mak semakin jelas. Betapa tuanya wajah Mak.
Padahal Muni merasa yakin, saat dia berangkat dulu wajah Mak masih
mulus.

Tiba-tiba ada sesal menyelip, memutar tali rasanya. Kenapa dulu dia
harus pergi. Tapi segera sesal itu sirna kala ingat bahwa dengan
kepergiannya berarti keadaan berubah.

Ya, dengan sebidang tanah, apa yang bisa dilakukan Mak. Sementara Abak
sudah lama pergi menghadap Illahi. Tak hanya Muni, masih ada tiga lagi
adik-adiknya yang harus ditanggung Mak. Bagaimana dia bisa mendesak
Mak untuk menyekolahkan, sedang untuk makan mereka saja mereka harus
berbagi.

"Jangan terpaku di situ, mendekatlah kemari anakku."

Muni kaget, tak menyangka Mak memperhatikannya.

"Duduklah. Malam ini perasaan Mak rasanya tak tenang. Kau harus
mengetahui seluruhnya, secara tuntas. Kau yang akan melanjutkan
segalanya. Kau paham?"

Muni mengangguk. Ada rasa aneh yang menjalari urat nadinya, terus ke
dada. Sebuah firasat. Tapi Muni melawannya.

"Kau tahu, kenapa Mak Adangmu berkeras hendak menebang talang itu?"
Mak memulai percakapan. Muni hanya menggeleng.

"Mak Adangmu merasa bahwa tanah milik kita berlebih tujuh meter dari
tanah miliknya. Padahal, dalam adat kita di Minangkabau ini,
seharusnya anak laki-laki tak dapat warisan. Tapi karena Etekmu yang
di Jakarta sudah kaya raya, dia menghibahkan tanah bagiannya buat Mak
Adangmu. Tapi akhir-akhir ini Mak Adangmu selalu ribut menuntut
kekurangan tanahnya dari tanah kita."

"Dan Mak tak setuju bukan?" Muni menyela.

"Jelas, Nak. Sudah dapat bagian saja seharusnya dia sudah malu. Mamak
macam apa dia yang membawa harta kemenakannya ke rumah anak istrinya.
Tapi agaknya Mak Adangmu memang telah kehilangan rasa malu. Malah
sekarang mengusik bagian tanah adik perempuannya."

Muni diam, diam yang menyimpan tanya. Di sini, di negerinya ini, yang
punya sistem matrialinial, harta memang jatuh pada anak perempuan.
Apalagi jika harta itu merupakan pusaka tinggi. Mamak juga punya peran
sebagai pelindung kemenakan dan harta juga untuk kemenakan, terutama
kemenakan perempuan jika mereka sudah dewasa.

Kalau ada seorang anak laki-laki yang dewasa dan sudah punya anak
istri mengambil harta pusaka atau sekedar menggarap harta pusaka
tersebut, ini adalah aib besar. Aib yang benar-benar memalukan.

Seorang laki-laki memang berpantang hidup dari pusaka tinggi,
berpantang membawa hasil garapan tanah pusaka tinggi ke rumah anak
istri. Jika itu dia lakukan juga, orang sekampung akan mencibirnya.

"Mak Adangmu itu sudah kena pakasiah bininyo."

Nada suara Mak mengiris. Muni merasakan kuduknya meremang.

"Kau lihat si Udin, teman Mak Adangmu itu. Dia itu justru membela
kemenakannya, menyekolahkannya, sampai semua jadi orang. Dia 'kan juga
punya anak bini. Bukan macam Mak Adangmu, membawa hasil tanah pusaka
ke rumah bininya. Benar-benar mamak yang tak tahu diadat."

Muni masih diam. Barangkali, diam adalah emas untuk saat ini. Dia
takut bicara, takut kalau nanti sampai kelepasan bicara. ya, baru
seberapalah pengetahuannya tentang adat, tentang bagi membagi harta
pusaka, tentang kewajiban mamak. Dia masih buta, makanya tak ingin
membantah.

"Kau tahu kenapa talang itu yang jadi persoalan."

Muni hanya menggeleng.

"Karena talang itu persis berada di batas tanah kita dan tanah dia.
Jadi Mak Adangmu berusaha menebangnya agar mudah menyerobot tanah
kita. Karena talang itu sebagai sepadan, jika talang itu ditebang,
sepadan tanah ini akan kabur. Mungkin saja setelah itu Mak Adangmu
akan menanam rumpun talang baru, jauh menjorok masuk ke tanah kita,
dan menyatakan kalau itu yang jadi sepadan."

Tiba-tiba rasa keadilan bermain di hati Muni. Tanpa mempersoalkan adat
mengenai pembagian pusaka, Muni justru melihat tak ada salahnya kalau
Mak mau bersabar, mau berlunak hati sedikit. Apalah artinya tanah yang
tujuh meter.

"Mak, kalau benar bagian kita lebih, apa salahnya kalau Mak Adang
menuntut. Bukankah lebih baik dibagi dua saja, persoalannya akan cepat
selesai."

Mata Mak berkilat, tanpa Muni bisa memaknakannya. Salahkah bicaranya.
Dada Mak yang memang sudah tipis, turun naik, seperti sesak napas.

"Tidak Muni. Tanah ini adalah pertahanan kita yang terakhir. Tempat
hidup mati kita. Mak Adangmu laki-laki, seharusnya dia pergi
meninggalkan tanah ini untuk kemenakannya dan mencari usaha lain untuk
kehidupan anak istrinya. Tak ada dalam adat kita, anak laki-laki
beroleh harta pusaka. Pusaka tinggi lagi."

"Tapi Mak, sengketa ini tak ada ujung pangkalnya. Kenapa kita tak
mengalah saja. Bukankah Mak yang mengatakan kalau mengalah bukan
berarti kalah. Mak, orang sabar dikasihi Tuhan, itu kata Mak bukan?
Mak, kalau Mak sabar, Mak akan masuk sorga."

"Benar Muni, tapi sabar ada batasnya. Betapa sejak kematian Abakmu
teror demi teror telah dilancarkan Mak Adangmu. Bukankah selama ini
dia basibagak saja? Buah kelapa seenaknya dia turun kan, begitu juga
buah merica yang esok mau dipanen tiba-tiba malamnya lenyap saja.
Siapa lagi yang punya kerja kalau bukan dia. Tapi kali ini tidak, Nak.
Kesemena-menaannya harus kita balas. Kau paham?"

Muni hanya menatap Mak dengan pandangan tak mengerti. Betapa sulit dia
mencerma jalan pikiran Mak. Karena tanah tiga setengah meter, Mak mau
berkeras kepala macam ini. Sekaligus Muni bingung dengan jalan pikiran
Mak Adang, kenapa dia begitu ngotot dengan kelebihan tanah Mak.
Bukankah Mak saudaranya juga.

Kalau dia jadi Mak, dia akan sukarela membagi dua tanah yang berlebih
itu. Atau kalau dia jadi Mak Adang, dia akan biarkan tanah berlebih
itu. Dan rumpun talang biarkan saja terus hidup subur atau dimusnahkan
benar. Apa sulitnya?

"Muni, dari sengketa ini, yang paling Mak pertahankan adalah harga
diri. Apa artinya hidup bila dengan keperkasaannya selaku laki-laki
dan mamak anakku satu-satunya, lalu dia seenaknya berbuat pada kita.
Tak ada yang berani menyanggah selama ini. Tapi tidak kini. Kali ini
akan Mak buktikan bahwa tak selamanya kita lemah. Ingat Muni, kita
sudah terlalu lama ditindas. Apakah harus maaf juga yang kita
tawarkan."

"Bagaimana kalau Mak Adang kalap dan menebang talang itu tanpa setahu
Mak?" Muni mengajuk kesungguhan Mak.

"Itu tak akan terjadi, Anakku. Begitu dia berani melakukannya, dia
akan segera tahu siapa Makmu ini."

Muni tertunduk. Mata Mak berkilat penuh dendam. Sinarnya terasa
membakar dada Muni. Sinar yang belum pernah dia saksikan selama ini.
Muni hanya tahu, Mak punya kesabaran, kelembutan dan kasih sayang
berlimpah. Sinar mata Mak biasanya penuh kasih yang tulus. Kenapa kini
berubah? Muni menggeleng tak mengerti. Benarkah penindasan yang selama
ini diterimanya dari Mak Adang telah membakar dada Mak dan biasnya
sampai di mata Mak.

"Kau satu-satunya anak perempuan Mak dan untuk kau pula warisan ini
kelak. Mak harap kau punya sikap yang sama, mempertahankan hak. Kau
paham, Anakku?" Muni hanya diam.

MAK ADANG adalah laki-laki yang baik, meski sedikit kasar. Itu yang
diingat Muni, kenangannya sepuluh tahun yang lalu. Kala itu Muni baru
delapan tahun.

Dengan menggendong Muni di punggungnya, Mak Adang akan berlari- kari
keci di pematang sawah, mengejar kerbau milik mereka. Atau dengan
senang hati Mak Adang akan mengajarinya menombang udang yang banyak
bersembunyi di balik batu sungai.

Juga masih diingat Muni, bagaimana dia menjerit-jerit ketakutan waktu
Mak Adang melemparnya dengan belut. Mak juga kerap memarahi Mak Adang,
karena tanpa rasa bersalah Mak Adang akan membawanya bertanggang
semalaman, menunggui buah durian.

Ketika Muni dikejar anjing, Mak Adang pula yang segera turun tangan.
Malah Mak Adang pula yang kemudian dikejar anjing itu, sehingga Mak
Adang ditabrak sepeda Pak Husin yang dikenal sebagai juragan rumput.

Tapi itu dulu. Benarkah kini Mak Adang telah berubah. Sepuluh tahun
memang bukan waktu yang pendek.

Menurut Mak, berkali-kali sudah sengketa antara dia dan Mak Adang
diselesaikan ninik mamak di mesjid, tapi tak pernah menjumpai titik
temu. Selalu saja, beberapa hari setelah itu akan terdengar lagi
ribut-ribut, antara Mak dan Mak Adangnya.

Muni tak bisa menerima jalan pikiran Mak, juga Mak Adang. Percuma Muni
mengatakan pada Mak, kalau sebagai anak perempuan satu- satunya dia
tidak ingin warisan. Dia tidak ingin memiliki tanah hasil dari
sengketa. Kalau bisa, malah Muni ingin membawa warisan pulang, ke desa
ini, setelah mencari penghidupan di kota lain.

Dalam renungannya, kadang Muni merasa menyesal dengan modernisasi yang
kini melanda desanya. Pertikaian antara Mak dan Mak Adang pun berawal
dari modernisasi ini. Dulu, kala desanya belum terja mah jalan aspal,
tak ada yang meributkan soal tanah. Semua ten teram dalam haknya
masing-masing.

Tapi begitu jalan raya membelah desa Muni, segalanya berubah. Tak ada
lagi derak roda pedati atau derit sepeda unta warga desa. Sekarang
raungan sepeda motor dan suara mesin mobil adalah sebuah keakraban
baru.

Karena itu pula tanah yang selama ini nyaris tak berharga, jadi
rebutan. Masyarakat desa berlomba-lomba membagi tanah warisan, lalu
menyertifikatkannya. Ada yang menjual kepada para pendatang. Padahal
setahu Muni, tanah warisan pusaka tinggi tak boleh dijual. Itu
merupakan pantangan. Tanah warisan tinggi hanya boleh dimanfaatkan
untuk kesejahteraan anak kemenakan.

Dan apa yang telah melanda warga desa, menjalar pula pada Mak Adang.
Dia ingin menyertifikatkan tanah bagiannya, karena ada yang sudah
menawar. Dengan bertambahnya luas tanah, itu berarti bertambah pula
jumlah uang yang akan masuk kantong Mak Adang.

Bagi Mak, menjual tanah pusaka tinggi sudah menyalahi aturan, apalagi
kini mamak anak-anaknya yang seharusnya membela dan melindunginya,
malah ikut merongrong dan selalu membuat hidup Mak tidak tenang.

"KEMBALILAH tidur, Nak. Kau telah paham sikap Mak. Tak banyak yang Mak
harapkan selain pembelaanmu terhadap pendirian Mak. Karena segalanya
ini Mak lakukan demimu, demi adik-adikmu," ujar Mak.

Muni kembali ke kamar dan telentang di atas balai-balai yang hanya
beralaskan kasur tipis. Di sinilah dia dan adik-adiknya harus saling
berbagi tempat, agar dapat tidur nyenyak. Muni mengeluh. Kenapa begitu
susah Mak diberi pengertian? Atau benar seperti kata Mak, bahwa dia
yang belum tahu apa-apa.

Kala malam merangkak semakin larut, sayup-sayup desau daun talang
terdengar riuh di telinga Muni. Lalu suara berisik, kemudian diam.
Tapi sejenak, kembali desau itu makin keras. Muni tak hendak bangun,
mungkin di luar sedang badai, pikirnya. Muni menarik selimut, lalu
memejamkan mata.

Dan kantuk itu berubah menjadi kekagetan luar biasa, kala malam
dipecahkan oleh lolong kesakitan. Arahnya seperti dari rumpun talang.
Tak lama kemudian, malam hingar bingar oleh hiruk suara orang kampung.
Lunglai Muni keluar, setelah tak menjumpai Mak dalam kamar. Dia
menyaksikan, kegelapan malam benderang oleh cahaya lampu petro mak.

Tiba-tiba malam kembali dipecah oleh suara jerit. Kali ini jerit Muni.
Di sana, di antara serakan batang-batang talang, terkapar tubuh Mak
Adang, penuh darah. Sementara dalam jarak tiga depa berdiri Mak,
dengan tangan masih memegang talang yang ujungnya diruncingkan. Talang
itu berlumuran darah.***










Pakasiah bininyo = guna-guna istrinya
Bako = keluarga dari pihak ayah
Basibagak = tidak peduli



by_Ellyza B Ahadi
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram

Postingan Populer

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.