Mentari merajai pagi. Semburat sinarnya melengkungkan senyum, petanda kota ini akan kembali terik, siap memanggang manusia di bumi. Sudah berhari-hari aku menyusuri jalan kota yang tak mau kompromi dengan waktu. Jalanan macet, polusi mengepul dari segala penjuru, lubang-lubang akibat gerusan air hujan tetap dipertahankan, sedang terik tak terbendung. Membuatku enggan berlama-lama merayap di jalanan ini.
Hari ini adalah hari ke 6 aku berkelana di penjuru kota ini. Sebelum berangkat, kusiapkan segala bekal untuk menunjang penampilanku kali ini. Pakaian ku setrika dengan licin, wajah ku dempul dengan bedak bermerek kelas dunia, tak ketinggalan senjata yang paling utama, surat lamaran pekerjaan. Ya, itu adalah senjata satu-satunya yang paling berharga. Jika itu tiada, berakhirlah riwayatku kini.
Bersama Aldo teman seperjuanganku sekaligus “sahabat” bagi diriku saat ini. Kami bersama-sama mencari perusahaan yang mau menampung untuk mencari pundi-pundi dolar untuk membeli sesuap nasi. Kami adalah sarjana sastra, kami sudah memasukkan puluhan surat lamaran pekerjaan diberbagai perusahaan namun sampai saat ini belum ada satupun yang memanggil. Akhirnya, timbul ide dari Aldo, kita mendatangi langsung tempat yang akan kami tuju.
Jalanan kota yang sesak, waktu kami terbuang diperjalanan saja. Kami berputar-putar menyusuri jalan. Tak ada satupun petanda mangsa di depan mata. Peluh sudah bergumul di dahiku, parfum yang semula wangi dibadanku kini berubah wangi busuk keringat, bedak yang menyembunyikan bintik-bintik hitam akibat jerawat kini luntur sudah. Kamipun sejenak melepas lelah disebuah warteg di pingiir jalan raya. Tanpa basa basi yang berkepanjangan, dua gelas es langsung ku pesan. Sembari menikmati suasana jalan raya yang berisik, tiba-tiba bunyi handphone dari tasku berbunyi nyaring.
Massange
Luna: perusahaan media cetak yang aku tempati saat ini membutuhkan reporter berita. Cepetlah kesini mumpung masih ada bosnya lansung.
Lusi: thanks. Kebetulan aku posisi di Diponegoro
Luna adalah teman satu kosku, ia sudah diterima di salah satu perusahaan media cetak yang ada di Surabaya, tepatnya di jalan Diponegoro 8, Surabaya. Posisinya lumayan enak, dia disana sebagai editor berita. Kerjanya nyantai tapi butuh ketelitian, tak jarang ia lembur sampe larut malam untuk mengedit semua berita yang masuk padanya. Tanpa pikir panjang, segera ku hampiri. segelas es berada digenggamanku yang tinggal sepero langsung habiskan seketika. Semangatku telah pulih kembali. Aku dan Aldo sudah tidak menghiraukan penampilan lagi, kamipun beranjak mencari alamat yang diberitahukan Luna.
Alamat kantor Luna tak jauh dengan posisi kami saat ini. Lima belas menit kemudian, motor kami sudah terparkir didepan perusahaan. Seperti biasa, dengan bekal seadanya kamipun memasuki kantor tersebut. Dengan perasaan yang campur aduk, kata pertama yang terucap dari bibirku membuka heningnya kantor saat itu.
“selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” ucap resepsionis
“ begini Bapak, saya mendengar perusaan ini sedang membutuhkan reporter baru, dan saya mau melamar disini” tegas saya
“baik, silahkan duduk. Saya panggilkan bos saya dulu”
Rasa panik pun hilang, panas yang menyekat berganti sejuk yang tak terkira. Lamunanku melambung tinggi.
“selamat pagi, Pak.” Spontan berdiri dan berjabat tangan dengan pemimpin perusahaan.
“ selamat pagi”
Hatiku kini kembali berkecamuk, melihat orang nomer satu di perusahaan ini langsung menemui dan membolak-balik berkas yang ku sodorkan kepadanya. Hampir setengah jam tanpa sepatah kata yang terlontar dari mulutnya. Matanya terpusat pada tumpukan kertas ditangannya.
“apakah anda memiliki pengalaman sebagai perorter?” kata pertamanya
“ waktu mahasiswa dulu saya sebagai wartawan kampus. Saya sudah terbiasa di luar mencari berita”
“kamu?” matanya tertuju ke Aldo.
“ saya juga aktif di majalah kamus. Tugas saya sebagai penglayout majalahnya, pak”
Dia mengganguk namun kami tidak mengerti apakah yang diangguknya sebagai tanda kepuasan atau tanda meremehkan. kamipun saling menatap satu sama lain. Matanya yang tajam menambah kekhawatiranku dan sahabatku Aldo.
“baiklah, saya pelajari dulu berkas anda berdua”
“baik, pak. Saya menunggu kabar baik dari bapak” tangan kami beradu kembali. Mata tajamnya yang kini kosong, sehingga Aku dan Aldo tak mampu berspekulasi.
Senja memerah. Semburat sinarnya mengubah cat-cat dinding kantor menjadi jingga. Kulangkahkah kakiku menuju tempat dimana motor kami parkir. Wajahku telah layu begitu juga Aldo. Tangannya mungkin sudah kram, matanya sudah capek karena menyetir seharian di jalan raya. Kamipun berputar arah menuju tempat yang sedikit menghibur bagi kami. Disebuah taman kota. Taman yang tak sepi penggunjung. Taman yang semakin malam semakin bersahaja. Lampu-lampu neon yang mulai bersinar dan senja mulai mengakhiri hari ini motor kami mulai merangkak. Meskipun penat yang berlebih kamipun menikmati perjalanan sore yang syahdu.
Hari-hari kulewati dengan perasaan tak tenang. Meskipun makan dan tidur setiap hari seakan ada yang bergelantung di bilik jantungku. Ku genggam selalu Hp di tanganku, selalu kudekatkan jika aku mandi atau melakukan aktifitas lainnya. Itu kulakukan hanya untuk menunggu kabar baik dari perusaan. entah kenapa aku begitu yakin akan diterima disana. Yang jelas aku selalu menunggu.
Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu kulewati. Kali ini adalah minggu ke tiga selepas kedatanganku dari kantor itu. namun apa yang terjadi, sampai saat ini tak ada nomor yang menghubungiku. Lelah sudah menumpuk, jenuh sudah bersarang dibenakku. Kegelisahan kini semakin memuncak. Akirnya ku beranikan menelpon pihak sana. Jawaban yang membuatku tertohok dan lemas untuk pingsan. Hasil sudah di umumkan 2 hari sebelumnya. Pihak mereka kesulitan menghubungi kami karena nomor kami tidak aktif. Aku baru sadar nomor yang aku cantumkan adalah nomor yang tidak kami pakai. Mengingat Hp kami hilang ketika beberapa hari yang lalu.
Mungkin dewi fortuna masih berpihak kepada kami. Berkat pengalaman kami dalam bidang jurnalistik, mereka masih menunggu kami. Entah ada dorongan dari mana aku tiba-tiba ingin menelpon pihak sana. Itupun hasilnya tidak mengecewakan. Kabar itupun langsung kuberitahukan kepada Aldo dan Luna. Kami merasa sangat bahagia karena kerja kami dalam satu perusahaan.
Pagi yang semi, segala kuncup bunga telah bermekaran dengan bantuan embun yang menguyur sedari subuh tadi. Langit tampak membiru, suara burung berkicau tak henti-hentinya bernyanyi di belakang kos-kosanku. hari ini adalah hari pertama aku bekerja. Bersama Aldo dan Luna kamipun merayap dijalanan kota yang sesak.
Hari pertama, tugas pertama, dan target yang harus dicapai setiap harinya. Luna sebagai karyawan lama sudah terbiasa dengan pekerjaanya, sedang aku dan Aldo hanya manggut-mangut dari breefing yang kami dapatkan. Luna dan Aldo bisa satu lokasi, sedang aku sebagai reporter, tugasku meliput berita. Dan itu tandanya aku terjun dilapangan. Berpisan dengan Aldo dan Luna. Sudah jadi resiko, inilah pekerjaan yang aku pilih.
Hari pertama aku sangat kesulitan mencari sebuah tempat yang biasanya di buat berita. Aku belum jelas seluk beluk kota Surabaya seperti apa. Aku tertegun menerawang kosong sembari memikirkan kemana kakiku ini akan melangkah kali pertama. Tiba-tiba dari arah belakang, ada seseorang yang menepuk pundakku, seorang lelaki berkacamata. Dia adalah seniorku. Sebut saja Gilang. Kamipun berkenalan dan berbicara tentang tugas kami. Akhirnya ia mau membantuku dan mengajakku mencari berita bersama. Ketika itulah aku memiliki teman baru, teman yang selalu bersama-sama. segala tugasku lancar. Setiap hari aku menghasilkan tulisan yang selalu menjadi Headline di Koran. Akupun mulai mengagumi sosok pribadi Gilang, lelaki berkacamata ini memberi warna lain dalam hidupku. Kita saling bertukar pikiran dan memiliki feeling yang sama daam mencari sebuah berita. Dengan berjalannya waktu kedekatan kami sudah melebihi batas kewajaran. Ini sangat terlihat ketika kita terjun dilapangan. Sembari mencari berita kita juga memanfaatkan waktu untuk jalan bersama.
Aku mulai menikmati dunia baruku sebagai wartawan. Pengalaman-pengalaman di luar sungguh mengasyikkan sehingga aku sedikit demi sedikit lalai dengan “sahabatku” sendiri. Hal ini juga dirasakan oleh Aldo ketika ia sering menjumpaiku selalu bersama ketika kembali ke kantor setelah peliputan selesai. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan jika ada yang anek dalam diriku mengingat tugasnya sebagai penglayout cukup menyita waktu. Akupun mulai memecah hatiku menjadi dua bagian. Aldo yang selalu menemaniku sedari dulu sedangan Gilang yang selalu menemaniku ketika aku bertugas.
Sampai larut malam mataku masih sebening purnama. Entah apa yang kupikirkan, serasa hidupku seperti sinetron yang tak tahu.
“kring…kring…kring” suara handphoneku berbunyi
“halo ada apa Gil?” tanyaku sendu
“cepetan kesini Lus, didaerah Darmo terjadi kebakaran besar yang menghanguskan rumah penduduk” ucap Gilang dengan suara lantang
“oke aku kesana sekarang” tegasku
Akupun bersiap-siap dengan perlengkapan seadanya. ID card yang menjadi identitasku tak boleh ketinggalan. Tanpa berpikir panjang aku langsung bergegas menuju tempat kejadian. Meskipun seharian belum menutup kantung mataku, demi tugas aku kembali bertarung mencari berita. Sesampainya ditempat tujuan aku meliput bersama Gilang. Dengan wajah paniknya ia semakin terkesan kejantananya sebagai laki-laki. Aku tersenyum tipis kepadanya begitu juga ia membalas senyumanku.
Setelah pencarian berita selesai kami menuju ke kantor untuk membuat berita. Di sana, juga masih ada beberapa orang yang menyelesaikan tugasnya, termasuk Luna, bang Arman dan kang Ardi. Luna memandangiku terheran-heran melihat Gilang menggandeng tanganku erat. Luna tahu kalau aku dan Gilang adalah partner. Namun ini mungkin sudah berlebihan bagi Luna. Segera ku tarik tanganku dari genggaman Gilang. Aku langsung mengalihkan pandangan Luna dari arahku.
“eh Lun, lihat kang Ardi nggak?” tanyaku dengan sedikit gugup.
“tuh, ada di ruang percetakan. Sebentar lagi juga ke sini” masih bengonng menghadap ke arahku
“ya sudahlah, aku ke belakang dulu”
Aku langsung menuju ke kamar mandi. Melihat wajahku yang kusut karena belum tidur semalaman. Segera aku meluncur ke warung untuk membeli secangkir kopi. Tak kusangka di warung sebelah kantorku bekerja kudapati Gilang menyeruput secangkir kopi dengan sebungkus sari roti. Tak ketinggalan kacamata yang menyelimuti matanya dari minus 2 yang sudah menghampiri sejak SMA dulu, sesekali diangkat ke atas dengan telunjuk tangan kanannya.
“Lus, ayow ngopi disini. Sudah ku pesankan kopi buatmu” ucapnya yang membuyarkan lamunanku sedari tadi memandangi wajahnya di balik pohon depan kantor.
“ eh i..i…iya, sebentar lagi kesana” tukasku dengan sedikit gugup.
Segera ku hampiri Gilang dengan dua cangkir kopi di depannya. Kembali ku lihat wajah Gilang, ia terlihat tenang, seakan-akan tak ada kejadian yang membuatnya terusik. Ah, sudahlah mungkin aku saja yang terlalu membesarkan masalah. Mengawali percakapan kami di warung kopi, Gilang mengajakku liputan di sebuah taman hiburan di Surabaya utara sore nanti. Biasanya di tempat tersebut banyak remaja yang berlibur di sana. Apalagi sore nanti adalah malam minggu. Hingga larut malam pun tempat tersebut tak pernah sepi penggunjung. Aku menyetujuinya hanya dengan menganggukkan kepalaku tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Setelah pertemuan kami di warung kopi dini hari tadi sampai siang menjelang sore hari aku belum mendapati wajah Gilang. Ku cari ke seluruh isi kantor masih tak ketemu. Gilang memang seperti itu datang tak di jemput pulang tak diantar, kadang-kadang lansung nongol begitu aja. Beberapa hari yang lalu hampir kepergok dengan Aldo, ketika diriku akan keluar bersama Aldo, tiba-tiba di depan kosku motor Gilang sudah parkir di sana. Padahal 5 menit lagi Aldo akan menjemputku juga. Alhasil mereka saling bertemu disana. Aku hanya bisa diam dan menjawab sekenanya kepada Aldo, tapi beruntung Gilang banyak alasan untuk menjawab pertanyaan yang menghujani dirinya. Dan kali ini, aku kembali dikagetkan olehnya. Di depan gerbang kantor, ku temukan suara yang tak asing ku dengar. Ya, Gilang. Dengan tas ransel di punggungnya dan tak ketinggalan kacamata yang bersarang dimatanya menatapku dengan sedikit berbinar. Aku mulai mendekat dan naik di atas motor yang dikendarainya. Misi kita akan dimulai, motor Gilang melaju dengan kecepatan sedang. Di sepanjang jalan yang kita lalui tampak senja telah tersenyum membagi sinarnya yang anggun. Ku hirup udara yang bercampur dengan asap kendaraan. Tak peduli banyak racun yang masuk ke hidungku, aku begitu menikmatinya, tanpa ku sadari tanganku merayap ke pinggang gilang. Kulihatnya di salah satu sisi kaca spiyon, ia tampak tersenyum tipis dan merasakan dekapan tubuhku.
Waktu begitu cepat berlalu, sampailah kita di tempat yang kami tuju. Tempat ini telah dikerumuni remaja-remaja yang menikmati malam minggu bersama pasangannya. Gilang berhenti dipinggir pantai. Angin pantai begitu munusuk, kamipun mendekat dan memulai membuka mulut masing-masing.
“bukankah disini kita mencari sebuah berita?” tanyaku
“memang, tapi berita yang ini berbeda.”
“maksudnya”
“berita tentang perjalanan kisah kita yang sampai sejauh ini. Aku tahu kamu telah berpunya. Tapi kamu juga menikmati permainan ini bersama diriku. ” terang Gilang.
“Gilang?”
“aku menyukaimu Lus, aku berharap bisa memilikimu sepenuhnya” lanjut Gilang. Tangannya mulai meraih tanganku yang mulai kaku dan mendekap tubuhku yang semakin bergemuruh. Sedang aku masih diam terpaku. Matanya yang sebening embun memancarkan kedamaian pada diriku.
“Lus, aku……..!”
“jangan diteruskan, Gil” ucap aku, sembari tanganku mendarat dibibirnya.
“aku menghargai perasaanmu, aku menikmati kebersamaan kita selama ini. Tpi di sisi lain ada Aldo yang menungguku. Terimakasih atas perasaanmu. Biarlah tempat ini menjadi kenangan dimana perasaan kita telah bersatu dan berakhir di sini. Mungin jalan kita seperti Surabaya dan Madura. Ada pulau yang memisahkan kita. Namun ada satu jembatan yang akan menghubungkan yaitu sebagi sahabat sekaligus partner yang solit.” berganti tangannya merambat kebibirku untuk menghentikan perkataanku.
Wajah kami langsung menghadap ke luasnya laut. Diam sejenak lalu saling memandang kembali. Kami seolah-olah tak ada permasalahan yang terjadi. Senyum mengembang ke arahku, dan kami mulai melanjutkan perjalanan dengan mengelilingi tempat ini. Tempat yang semakin malam semakin banyak penghuni.
Minggu, 11/12/2011/08:00
by_E.Y.A