Please enable JavaScript to access this page. Juli 2011 ~ Kaki Semut
  • This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Kepada Hujan

Kepada hujan aku berkata
Dimanakah kau berada ketika kemarau datang menyapa kami?
Ladang-ladang mongering
Karena dehidrasi
Mengelu-elukan dirimu
Menyemburkan setitik air untuk mempelancar irigasi

Apa kau tak melihat
Garangnya mentari menyengat dikala pagi dan petang
Menghisap liurliur kami sebagai persediaan
Untuk menelan makan nanti sore

Dimanakah tempat berlabuhmu
Biar ku jemput kau
Bersama segepok sesajen dan berbagai mantra
Agar kau datang dan menjenguk kami
Yang telah sakit
Dehitrasi tak kendali

by ellyca
Share:

Janji-Janjiku

ditangku kau bernapas lembut
mengalun merdu mengalir disetiap pori-pori jiwa
bergelimbang takhta terpatri bersama nada-nada cinta
ketika sembah sujudku kembali menyapa

tangganku menggenggam oleh sebuah penghargaan
menggalirkan gemericik-gemericik tetesan bola mata
mendekap harap butiran kesempatan
agar aku tetap bisa untuk selalu ada

berkencanmu denganku tak akan kekal
sampai aku daam gulungan tikar
janji-janjiku akan ku pertaruhkan
ketika kelak kau memanggilku dipadang mahsyar

by_ellyca
Share:

Edelweiss

Ku dengar abadi diujung sana
Berselimut kabut putih
Bersama embun-embun kasar menetes lembut
Diujung putik putihmu
Menghidangkan segala umpan merekahkan senyum kekalmu

Hidupmu putih keruh tanpa bintik dikelopak
Putih indahmu menari-nari lentik
Menanti surise merangkak dari peraduan

Sungguh pemandangan yang kekal
Nyawamu tak dapat digantikan
Membaur bersama angin dan musim
Diujung fajar maupun dibalik layar petang
Rekah tubuhmu melelehkan sepasang mata
Kepada semua yang memandang
Sekuntum bunga dipuncak keabadian

20 januari 2009

By_ellyca
Share:

Suatu Masa Dimana aku !

Di tumpukan buku-buku yang karatan
Ku jelajahi dunia dalam tiga dimensi
Kutemukan ribuan galaxi mengitari satu musim
Dimana aku dan jiwaku luruh
Bersama embun berjatuhan dikala pagi

Tampak sekilas aku berada
Terperangkap dalam masa
Dimana aku dalam tujuh lapis paling bawah
Bersama gerombolan debu-bebu hitam
Yang tak lain, hanyalah racun kehidupan
Dan dimana aku dalam tujuh lapis bumi paling atas
Bersama kumpulan ribuan kerbau dungu
Yang memiliki otak sebagai hiasan saja

Jiwaku luruh berbaur bersama angin
Ketika dinding peradaban mulai retak
Tergempur granit-granit melesat kuat
Dan,
Alur dimensi itu
Mengerogoti tubuhku untuk segera
Menutup perjelajahan dari tumpukan buku-buku
Membuat organ dan tubuhku remuk
Runtuh dibantalan kursi

by ellyca
Share:

Jejak Langkah di Menit Terakhir

Bebu-debu telah membusuk didadaku
Menyumbat celah diantara tulang-tulang iga
Menggembang-kempiskan kedua diafragma
Dalam tanah berkapur

Kakiku tlah kaku menjadi batu
Menyelusuri hidup diberbagai musim yang ada
Dimana musim barat tlah lama hilang dalam tubuhku
Dan kini angin petang tlah menjemput untuk pulang

Mataku nanar tergerus jiwa yang semakin rapuh
Terkapar jiwa renta diatas ranjang
Meninggalkan jejak-jejak langkah
Diatas tanah berkapur

Dimenit terakhir ini
aku tetap menjadi tanah yang berkapur
ingin ku hirup kembali musim semi esok pagi
sebelum aku menggendap
berbaur bersama tanah

by_ellyca
Share:

Diatas Hamparan sajadah

Sebelum bumi menggunyah fajar dipertiga malam
Kusapa sepi yang masih bercumbu dengan mimpi
Berpeluk diantara bunga-bunga tidur
Masih memutikkan cikal bakal kehidupan esok

Diatas hamparan sajadah yang membentang
Ku sampaikan rindu dalam sujudku
Membuncah pecah ditepian mata
Membanjiri pipi yang mengering

Malam-malammu yang berbisik adalah aku
Menganyam kata-kata yang telah lama
Mengering dipangkal lidah
Tak terbasuh setetes pun dengan air syurgamu

Biarkan aku selalu berlindung dipelukmu
Menyadarkan segala nasib yang belum tentu ada titik
Penuntun arah menyusun kerangka hari

by_ellyca
Share:
sometimes what we see is not the same as what we feel
sometimes what we feel is not the same as what we see
and sometimes what we hear is not the same as in the sayings
and sometimes what we say is not the same as what we say
conscience say it what you want to say and listen carefully to what you hear
Share:

tak ada sajak di bulan Juni

Tak ada lagi sajak yang biasa ku kirim padamu seperti bulan-bulan sebelumnya
Semuanya telah raib terampas pagi yang dingin
Mengigilkan segala bait yang menjadikannya beku dalam tubuhku

Juni telah membaca semuanya
Jika bulan ini aku akan mengirimimu sepenggal sajak terindah sebagai tanda mekarnya anggrek yang tertanam diberanda rumahku
Dengan sengaja ia mengodaku untuk betarung mengalahkan duri-duri yang ditaburkan di tengah perjalanan

Kini aku malu pada waktu yang mengiringku kedalam sebuah istana tertinggi dalam benakku
sebuah tempat dimana kutemukan tempat yang membuatku asyik bercinta dengan kata
Tanganku begitu lihai menawarkan bait-bait sajak yang menciptakan pelangi, terkadang hujan dimataku
Namun, kini tinggalah tetes-tetes embun sebagai butiran mata yang mewakili sajakku yang tertunda

Sepertinya juni telah mengisyaratkan padaku pada jauh-hauh hari sebelumya
jika sebuah kiriman itu harus segera di akhiri
karena sajak, bukanlah sebuah sajak yang biasa
sajak kekal akan luka dan derita mengerayangi tubuhku secara pelahan kala terbuai cinta tanpa sebuah logika



by: ellyca
19 Juni 2011/21:08
Share:

Edelweiss Flower

Tanggalan islami sudah berada diujung pergantian. Bulan tampak mulai tenggelam termakan Brotokolo diwaktu purnama malam ini. Kini beberapa hari lagi bulan asyura atau lebih dikenal dengan bulan syuro sudah didepan mata. Tempat pemujaan untuk pesugihan ramai dikunjungi, kuburan-kuburan para leluhur dipadati, tak ketinggalan perguruan pencak silat berbondong-bondong menyempurnakan ilmunya ikut beraksi. Begitu juga aku, ada rencana besar yang bergeming di dada.


Aku seorang anak yang terlahir sebagai anak tunggal dalam keluarga Wardoyo. Keluarga yang kaya raya di desa. Setiap gerak-gerikku diawasi dan dipantau selama 24 jam penuh. Semata-mata demi menjaga keselamatanku sebagai pewaris tunggal keluarga Wardoyo. Tidak heran setiap akan keluar, aku selalu diintrogasi habis-habisan. Dari ibuku yang overprotective menanyaiku setiap waktu. Tak terkecuali bapakku, pribadi yang keras dan aku harus memenuhi segala ucapannya.
“ Memangnya kamu mau kemana tow, nak?”
“Ke Bromo, aku ingin menghabiskan sisa liburan ini bersama teman-teman, Bu” ucapku dalam nada terbata-bata. Padahal ada suatu yang senggaja aku sembunyikan dari ibu. Aku ingin sekali melihat sebuah bunga yang selalu merekah sepanjang tahun, meskipun tersiram embun yang membuat ngilu serta sengatan sang mentari yang mematikan. Bunga itu, ya Edelweiss flower. Bunga yang selalu abadi dipuncak paling tertinggi.
“Tidak baik anak perempuan keluyuran begitu, apalagi tidak sama orang tua, Bahaya! “
Kata sesepuh dulu sebagai anak tunggal aku rawan sekali bepergian. Apalagi pada saat bulan syuro ini. Katanya banyak setan yang mengintai untuk sebagai sesembahan atau sering disebut dengan tumbal. Entahlah, mungkin itu hanya sebuah mitos saja. Sedangkan aku ingin sekali menyisir berbagai rintangan yang berbuah pengalaman berharga dan pengetahuan yang luas tanpa adanya ikatan besi yang memasung, serta satu impianku selama ini yang memblidak dihati. Menatap mekarnya bunga edelweiss dipuncak gunung yang sejuk. Bunga yang ku impikan sejak dulu.
Pagi-pagi selesai sarapan aku mendatangi teman SMA ku dulu. Dia adalah Ratih, dulu dia adalah salah satu teman akrabku, bisa dibilang soulmate. Namun kini kita telah dipisahkan oleh keadaan.karena dia diterima di perguruan tinggi negeri yang jauh dari desa kami. Sedangkan aku hanya berkuliah di dekat-dekat sini saja. Masih dengan alasan yang sama. Ratih semakin hitam dan pemberani juga. Dikampusnya dia mengikuti UKM (unit kegiatan mahasiswa) komunitas pecinta alam. Tak heran setiap satu bulan sekali dia mendaki gunung diberbagai daerah, dan sekarang giliran gunung Bromo didaerah Probolinggo sebagai tujuan selanjutnya. Dengan sepeda ontelku, aku sembunyi-sembunyi menemui Ratih dan teman-temannya yang sejak kemarin berkunjung kerumahnya.
“ Bagaimana Ratih, aku boleh ikut ?”
“ Apa kamu tidak dimarahi orang tuamu nanti kalau kamu ikut mendaki?”
“Ehm… asal aku boleh ikut, aku akan meyakinkan kedua orang tuaku?”jawabku dengan terengah-engah.
“ Baiklah” jawabnya sedikit ragu.
“oh iya, kalau kamu jadi ikut kami , komunitas PA akan berangkat besok lusa pada tahun baru hijriah. “Ratih memperjelas”
Aku hanya menganggukan kepalaku dan segera kembali pulang kerumah.waktu telah menghampi dzuhur, saatnya bapak pulang dari swahnya. Dalam perjalanan pulang, aku kembali memutar otak, alasan apa yang ampuh untuk menyerang argumen-argumen yang akan digunakan orang tuaku. celakalah, aku terlambat 5 menit pulang kerumah. Bapak telah sampai lebih dulu dan menghadangku di depan pintu.
“Dari mana kamu, nak? Ayah mencarimu dari tadi ” Dengan wajah berkerut didahinya.”
“Aku dari rumah Ratih, pak” Tubuhku gemetar
“Sedang apa kamu kesana, tidak cukup larangan ibumu tadi malam?” Bapakku mulai naik darah.
“Sudah dibilangi dari kemarin, Bromo itu tempat berbahaya. Disana penduduknya orang—orang lain agama dengan kita. Banyak sesajen disetiap sudut rumah. Apalagi pada waktu bulan syuro, gunung Bromo dijadikan sesembahan, tempat pembuangan sesajen. Bahaya!.”
Aku hanya tertunduk diam dan segera lari menuju kamar yang wajahnya merah. Dalam batinku, jika tujuan kita baik kesana dan bertujuan berlibur dan kita datang tidaka mengganggu mereka pasti tidak akan terjadi apa-apa. Karena itu merupakan bentuk ibadah mereka kepada tuhannya. Kita sebagai warga negara yang demokratis wajib menghormat dan menghargai bentuk apapun dan sekecil apapun dari ibadah mereka, sedangkan yang dibilang bapakku itu, semua hanyalah mitos. Yang dipercayai oleh orang jawa dan dijadikan adat yang tak tahu asal-usulnya jika ditanyakan. Jawabannya adalah berasal dari nenek moyang kamu. Begitu seterusnya.
“Turutilah apa perintah kami, nak? Semua ini demi kebaikanmu juga.” Kata ibu yang mengejarku dari ruang tengah.
“Aku hanya ingin berlibur, Bu. Aku ingin melihat yang namanya bunga edelweiss itu. Bunga yang selalu diucapkan teman-teman sekelasku waktu SMA dulu.” Impian yang ku sembunyikan dari ibu terucap jua.”
“Selama ini aku sudah menuruti ibu dan bapak. Kali ini, izinkanlah Bu?” aku bersujud dikaki ibu yang duduk diranjang kamarku.
Meskipun berat hati, akhirnya ibu mengizinkan aku untuk berlibur bersama Ratih dan teman-temannya. Namun restu itu hanya aku dapatkan dari ibu. Sedangkan bapak tetap pada pendiriannya. Beruntunglah, selama tiga hari bapakku akan berkunjung kemakam wali. Memenuhi undangan dari perangkat desa.
Sebongkah mentari masih enggan memerakkan sinar ke bumi. Berselimut menyergap bersama tetes-tetes embun membasuh raut muka. Begitu juga aku, hatiku berdegub kencang tidak sabar pemberangkatan tiba. Sedangkan bapak, mulai pukul 02.00 dini hari telah dijemput oleh rombongan untuk berangkat. Karena yang ditempuh lumayan jauh.
“Jaga anakmu semata wayang itu, Bu. Jangan sampai dia keluar rumah. Besok sudah tahun baru hijriyah. Bahaya!” sambil berjalan mengintipku didalam kamar.
“Baiklah, pak . percayalah pada ibu. Bapak hati-hati dijalan.”
“Kalau begitu aku berangkat dulu. Assalamualaikum!”
”Waalaikumsalam.” Sambil menutup pintu
Kini giliranku memepersiapkan mental menyambut Bromo, berkhayalah ditengah hamparan edelweiss memagari tebing-tebing yang semakin tinggi , semakin curam. Dengan doa ibu, aku langkahkan kaki keluar dari rumah.
“Hati-hati anakku, berdoalah selalu untuk meminta keselamatan.” ibuku tersenyum cemas.”
“Aku akan selalu menjaga diri.” Aku tersenyum dengan mencium tangan dari kedua pipi ibu yang dingin sedikit gemetaran.
Hari ini aku, Ratih dan rombongan siap untuk berjuang untuk menaklukkan gunung Bromo. Roda bus berputar-putar melaju kian cepat. Semakin cepat meninggalkan Desa kami. Tubuhku terasa seperti terbang tanpa ada sangkar yang menghalangi untuk bebas. Terasa mimpi-mimpi yang terindah di gelap semua mimpi-mimpi yang ku selama ini. Dalam benakku, aku telah menyusun hal-hal apa yang akan ku lakukan dalam pendakian nanti. Saking senangnya membuat tubuhku digerogoti rasa lelah dan mengantuk membius mataku yang menyala kegirangan.
Sekitar pukul 3 sore bus yang mengantar kami memasuki kota Probolinggo, tepatnya didaerah Tengger. Udaranya mulai menusuk tulang, sampai-sampai bus tak ingin dekat-dekat menuju puncak. Dengan stater yang pol, bus merangkak sedikit demi sedikit menapaki bukit dengan getstur yang curam. Mulutku bergumam tak henti-hentinya mengucapkan doa kepada sang maha kuasa sampai tiba ditempat yang kami tuju. Kabut-kabut putih semakin tebal menyelimuti tubuh kecilku. Tubuhku semakin menggelembung saja. Tertumpuk jaket tebal lengkap dengan syal yang tebal. Sedangkan lainnya, hanya berkaos oblong dengan celana pendek mulai menghirup udara dingin di sekelilingnya. Munkin sudah terbiasa dengan hawa-hawa yang membuat tubuhku semakin ngilu.
Senja kian larut bersama kabut-kabut yang menghempaskan dingin dibadan. Kami bersantai sejenak dengan memasang api unggun di depan villa. Lirih-lirih alunan music gitar akustik menambah hangatnya tubuh. Mulut kami bergerak-gerak menyenandungkan beberapa lagu mulai dari dangdut sampai lagu pop. Selang waktu berganti ada suara gaduh dari timur lingkaran kami. Salah satu teman kami ada yang kesurupan. Dia berteriak-teriak tak jelas diucapkan. Suasa menjadi genting dan kalut. Beruntunglah suara itu hanya beberpa menit saja. Karena salah seorang mencoba mengobatinya.
“jagalah berperilaku kalian jika ingin selamat disini.” Bapak setengah baya itu memeringati.
“ Maap sebelumnya, Pak. Apa yang telah kami lakukan sehingga terjadi hal ini ?”
Kami semua binggung.
“Setiap warga disini beribadah selama 4 kali sehari disaat jam-jam tetentu. Jam 6 pagi dan petang, serta jam 12 siang dan malam.”
Tubuh kami bergetar, darah terasa mendidih mengungkapkan udara panas. Malam kian mencekam diantara sela-sela waktu yang tergolong sore bagi kami. Begitu juga hasraku untuk memetik edelweiss kian pupus saja tertutup kabut malam. Namun dengan hati bersih, kami menyiapkan mental untuk tetap mendaki.
Jari-jariku semakin kaku, tubuhku semakin ngilu ketika jarum jam mengarah pukul 02.00 dini hari. Kudapati dingin begitu erat. Salah seorang ketua rombongan memberi aba-aba untuk bersiap-siap mendaki.
“Sebentar lagi pendakian dimulai. Siapkan pembekalan kalian.”
Bersama Ratih, kita berpegang erat-erat agar tidak terpisahdari rombongan. Rasa dingin yang membekukan tentang berubah menjadi hangat terbakar rasa penantian untuk segera memetik edelweiss dipuncak gunung Bromo.
“Bromo, aku dataaaaang! Izinkan aku memetik edelweiss” gumamku dalam hati menjerit keras.
Rute yang panjang, pendakian semakin curam melesat tinggi keatas. Sekitar pukul 04.00 pagi puncak didepan mata. Sunrise yang begitu indah, sang mentari memercikkan sinarnya. Dengan menatap lautan kabut yang menutupi bukit-bukit dibawahnya. Satu selalu ku ingat, memetik bunga edelweiss di puncak gunung Bromo. Untuk ku persembahkan untuk yang selalu melindungiku dikala terik dan dingin menyerang tubuh. Sebagai tanda kemampuanku menantang kerikil-kerikil Bromo.
Mentari semakian tersenyum, kian gencar memancarkan butir-butir sinarnya. tak lama kemudian.
“berkumpul!” teriak pemimpin rombongan dari kejauhan
“kita telah berhasil mendaki dengan selamat, mari rentangkan tangan untuk kesuksesan kita.”
“Bromo kita berhasil !” suara membeludak memutari bebatuan gunung-gungung Bromo dan menghapus kabut-kabut putih yang menempel di muka kami.
Aku tapi langkah demi langkah meninggalkan puncak gunug dengan setangkai bunga edelweiss yang ada di genggamanku menjadi saksi bisu keberhasilanku membuktikan mitos kedua orangtuaku. Entahlah apa yang dilakukan bapak ketika aku pulang nanti. Mendapati aku yang lusuh dengan bunga Edelweiss di genggaman tangan.

by: elliza
Share:
Instagram

Label

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.