Pada suatu ketika aku mengenalmu, laksana air yang mengalir mengikuti arus, terkadang deras, terkadang pelan, yang pada akhirnya menghantarkan pada suatu muara dimana segala air akan mengalir pada satu tempat yang sama, yakni sebuah lautan.
Semenit sudah aku naik dan duduk dikursi bus pilihanku yang telah ku pilih bersama sahabatku Rani. Bus itu merupakan bus yang akan membawaku dan kawan-kawan melakukan study tour. Ini merupakan acara kelas. Acara yang diadakan untuk memenuhi mata kuliah sekaligus liburan bagi kita semua. Ku amati secara penuh wajah mereka yang masih mengembangkan senyum antara satu dengan yang lainnya. Menyeruapkan wangi ketulusan tanpa adanya suatu pertentangan yang menjadikan duri dalam daging. Iman yang dulu bergaya sedikit kefeminim-feminiman kini berubah menjadi lelaki sejati berkaraoke di depan bus di temani dengan Nova yang sudah lama juga memiliki hobby berkaraoke, dan si pendiam Shanty diam-diam juga ikut menunjukkan kebolehannya berduet bersama Iman dan Nova. Lamunanku terus merambah ketika kami belum mengenal satu sama lain, dan pada akhirnya kami dipersatukan dalam satu kelompok kecil, dimana kita saling mengerti dan mencoba memahami karakter masing-masing.
“Lihatlah mereka! mereka begitu asyik menikmati kebersamaan saat ini, saling membaur satu sama lain, bercanda, ngerumpi. Andai saja setiap hari seperti ini”. Ungkap Lani ketika itu duduk disampingku.
Aku hanya tersenyum mendegar ucapan Lani. Mataku nanar menapaki satu persatu raut wajah mereka. Suatu kedekatan yang lekat seperti ini suatu saat akan berkahir karena suatu keadaan yang menuntut kami harus berpisah. Aku membaurkan diriku bersama mereka, meskipun hanya bercanda sambil tertawa kecil tapi aku sudah merasakan kebahagian bersamanya.
Bus melaju dengan kencang, Iman, Nova, dan Shanty tetap menghibur teman-teman lainnya dengan lagu dangdut yang dibawakannya, sedang yang lain menikmati pemandangan di kanan kiri jalan tertutup rimbunan pohon jati yang melambai-lambaikan dedaunnya tersapu angin. Liku-liku jalanan dengan kontur yang terjal menambah keceriaan para penghuni bus, semua tertawa cekikikan begitu juga diriku.
“Serasa seperti daerah pedalaman yang belum terjamah manusia?” kata Nila
“ini masih taraf biasa Nil, bagaimana kalau kamu ke rumahku. Bakalan shock mendadak kamu” pungkasku diiringi teriakan teman-teman di sekelilingku.
“masak sih?” terangnya.
Nila merupakan anak metropolitan yang terjebak di kota pahlawan ini karena suatu alasan yang mungkin hampir sama dengan kami. Ia hampir tak pernah pulang, kecuali jika libur semester. Itupun hanya sebentar.
“kita telah sampai!”sahut Niesa dari belakang.
“iya, sudah sampai” Suara lain ikut menyahuti sehingga bus berubah ramai. Kini bus tak lagi sepi, serupa gemuruh memecah keheningan.
Bis yang aku tumpangi bersama teman-teman telah sampailah pada tujuan pertama, tempat yang mampu menenangkan hati kepada siapa saja yang berkunjung kemari. Bersama gulungan ombak yang menari lembut di permukaan pantai membuat para penggunjung asyik berenang atau hanya sekadar bermain-main pasir. Saat itu mendung terlihat menggantung diatap langit, aku dan rombonganpun terbawa arus ikut menyentuh bibir pantai.
Kami semua berpencar menikmati pantai dengan caranya sendiri. Ada yang berteduh di bawah pohon, ada yang berbincang-bincang bersama pengunjung lain, ada yang berenang, bermain pasir, dan lain sebagainya. Aku, Lani, Risa, dan Nila menuju sebuah tempat yang agak berjauhan dengan air. Kami memilih berteduh di sebuah panggung gembira. Kebetulan panggung tersebut sedang tak ada kegiatan. ketinggian tempatnya sekitar 5 meter diatas pantai. Dari sinilah kita menikmati pesona pantai yang begitu eksotik, semilir angin menyeruapkan kesejukan di tubuh kami yang diselimuti perasaan gembira.
Kini aku mulai menyusun kembali mozaik-mozaik kenangan bersama mereka satu bulan yang lalu. Di kampus kami, pada sebuah ruangan kecil yang terletak di lantai tiga, ruangan yang langsung berhadapan dengan anak tangga. Disanalah saksi bisu perdebatan antara kami di mulai. Sebuah perdebatan yang berujung pada satu ketidakpercayaan satu sama lain. satu kepala memiliki satu pemikiran, yang mana pemikiran tersebut harus berujung pada sebuah pemikiran untuk kepentingan semua. Tetapi hal itu bukan pilihan yang mudah, butuh proses yang panjang. Polemik diantara kami semakin menjadi. Setiap individu menawarkan terhadap apa yang ia miliki. Tak ada kepastian yang jelas. Perdebatan hanya membuahkan mulut-mulut kecil yang menggigit telinga, sehingga kami pulang dengan tangan kosong.
Seminggu setelah perdebatan terjadi. Kami mencoba kembali untuk mencari kemufakatan, hari ini masing-masing individu diperkenankan untuk menumpahkan perasaannya, mengingat keberangkatan study tour yang diadakan kelas kami semakin dekat. Di sebuah tempat yang sama, kami datang dan duduk dengan posisi bergerumbul. Pandangan setiap mata menyorotkan ketegangan di dalam diri mereka, mulut-mulut kecilpun ikut berkicau pelan. Hingga pada akhirnya satu suara membungkam celotehan semua.
“braaaaak!” suara tangan yang dipukulkan di meja.
“semua bisa diam?” Tanya Acun. Semua tertunduk dan menghentikan celotehannya secara spontan.
“waktu sudah semakin dekat, ku harap kalian bisa mengerti. Silahkan kalian menyalurkan ide yang kalian miliki untuk kesuksesan acara kita besok”.
Suara kembali muncul satu-persatu, kelas tak lagi sepi, mereka saling bersahut-sahutan laksana burung mengantri giliran jatah makanan. Namun kali ini suara tersusun secara apik, seperti melodi yang mengalun dengan rapi. Ketegangan tak lagi terlihat, melainkan tanda-tanda kemufakatan akan di dapat.
mendengar kata mufakat yang di putuskan oleh Acun selaku pemimpin musyawarah kelas. Raut muka yang tirus telah lenyap terkikis senda gurau dalam kelas. kami pun meninggalkan kelas dengan tentram, sudah tak ada beban yang bergelayut di hati masing-masing.
Sesampai pada suatu ketika yang sudah ditentukan, 26 Desember 2011 kamipun berangkat dengan tujuan yang sudah menjadi mufakan antar semuanya. Segala penat tak lagi terlihat, kini tinggalah senyum-senyum kecil yang tersisa dari perdebatan yang telah terucap. Senyum-senyum kecil itu masih keurasakan sampai di tepi pantai ini yang datang bersama gemuruh ombak dengan gemericikan butiran air yang membawa kedamaian di dalam hati.
Kini aku kembali tersenyum, perlahan berdiri dan merentangkan tanganku yang ku dekap sedari tadi. Ku pandangi Lani, Risa, dan Nila yang duduk di sampingku. Begitu tulus wajahnya, menjadi sahabat yang mau mengerti dan memahami setiap karakter pribadi masing-masing.
Dan kini, pada suatu ketika kebersamaan telah kembali bersarang dihati kita, tubuhmu dan tubuhku saling mendekat penuh hangat. Berharap semuanya akan terus terajut meski badai menghempaskan jiwa yang saling bersatu.
by_lca
Surabaya, 17/1/2012/23:52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar