Please enable JavaScript to access this page. Januari 2012 ~ Kaki Semut
  • This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Secuil Hati Untuknya

Inilah aku yang selalu gelisah disaat Agfa selalu berada disisiku. Tubuhku bagaikan kembang merindukan hujan di tengah kemarau panjang, lalu mekar di antara gemericikan hujan yang kunanti meski hanya sedetik lamanya. Aku nyaris hilang kendali segera ingin memeluk dan mengecup bibirnya yang memerah. Menumpahkan segala dahaga yang tak kudapatkan dari laki-laki lainnya.
Rasa ini selalu mencekamku begitu juga afga, kami saling sembunyi untuk sekadar bertemu bahkan komunikasipun mengendap-ngendap seperti pencuri takut ketahuan pemiliknya. Kami sering melakukan seperti ini, meskipun begitu ada suatu kepuasan tersendiri yang tak dapat tergantikan oleh apapun.
Aku dan Afga memang sudah memilki pasangan, pasangan kami sangat setia pada kami. Mungkin dengan kesetian itulah kami mencari sesuatu yang berbeda dari apa yang tidak dimilki oleh pasangan masing-masing. Sebut saja Anton, dia adalah kekasihku, ia adalah tipikel orang yang setia. Kemanapun yang aku mau ia selalu ada untukku, apapun yang aku minta ia berusaha memberikannya meskipun itu susah untuk mendapatkannya. Hampir selama menjalani hubungan tak pernah ada suatu konflik yang menjadikannya kerikil bagi hubungan kami. Semuanya secara konstan dan mengalir begitu saja. Hingga akhirnya aku mencari suatu sensasi yang lain agar aku memiliki “greget” dalam menjalani hidup ini terutama dalam hal bercinta. Hingga pada akhirnya kutemukan seorang lelaki berwajah oriental, tubuhnya sedikit kurus dan tinggi. Ia benar, dia adalah Afga. Jika belum mengenal sosoknya lebih dekat, semua wanita akan mengira kalau ia adalah sosok lelaki yang pendiam dan setia dengan pasangannya. Karena disetiap harinya slalu dipenuhi ia dengan pasangannya, ibarat kata dimana ada gula disitu ada semuat, dimana ada Afga selalu ada kekasihnya. Aku sering menjumpai ia di salon langgananku. Waktu itu secara tidak sengaja kulihat ia mengatarkan kekasihnya sedang perawatan tubuh, wajahnya seperti ditekuk, tak sedikitpun bibirnya merenyahkan hati. Ia kelihatan tidak nyaman berada ditempat seperti itu apalagi berjam-jam tak ada orang yang menemaninya mengobrol. Aku tahu bagaimana rasanya menuggu seseorang, “membosankan” itulah kata-kata yang selalu diucapkan Anton kepadaku, tapi aku tidak menggubrisnya dan ia pun menikmati kebosann itu. Dari sinilah kisahku dengan Afga berawal, ku hampiri Afga yang sedang duduk sendiri di ruang tunggu. Aku mencoba mendekat dan mencari-cari bahan obrolan. Sedikit kaku memang, seiring dengan berjalannya waktu obrolan-obrolan yang kami bicarakan dapat mencairkan tubuh kami yang kaku, bibirnya yang mengkerut mulai melengkung lebar, suaranya terlihat renyah, tubuhnya terlihat luwes dan lentur. Tak lama kemudian datanglah si perempuan dari dalam ruangan, dengan hentakan kaki yang sedikit dipaksakan serta muka yang masam mendekat kearah kami.
“Ayo mas! Aku sudah selesai,” suara wanita dari belakang.
“Sudah selesai?” kata Afga dengan mengangkat tubuhnya dari kursi
“Aku keluar dulu ya” ucap afga bergegas meninggalkan ruangan ini
Sekarang tinggalah aku sendiri di ruang tunggu menanti kekasihku dari tempat ia nonggkrong sembari menungguku melakukan urusan perempuan. Untuk urusan yang satu ini ia benar-benar tidak mengikutiku. Ia menggangap laki-laki sangat anti dengan yang namanya salon meskipun hanya sekadar mengantar saja, oleh karenanya ia memilih untuk menjauhkan diri dari tempat yang bernama salon.
Dari salon aku dengan kekasihku beranjak menuju restaurant untuk makan siang. Aku tak sedetikpun mengingat akan Afga. Aku kembali menemuinya ditempat yang sama. Kali ini ia tidak bersama kekasihnya, ia menikmati makanan itu bersama wanita lain yang sedikit tua dari dirinya. Aku tidak terlalu memperhatikannya, mungkin ia ibunya atau siapa, toh aku tidak mengenal siapa dia selain bercakap-cakap di salon tadi. Akupun menikmati makanan yang sudah dipesan Anton untukku. Kemudian kami bergegas meninggalkan restaurant itu dan segera pulang. Senja telah menggulung hari ini dengan indah. Angin sepoinya mengalir lembut bagi siapa saja yang menghirupnya. Burung-burungpun terbang bebas kembali keperaduannya setelah sekian lama merantau di dahan-dahan yang sekira teduh baginya. Begitupun aku akan merebahkan tubuhku setelah seharian menitih hari yang begitu melelahkan.
Hawa begitu pengap malam ini, serasa angin telah terengut purnama yang garang, Tidurku tidak begitu nyenyak pikiranku tiba-tiba terusik akan wajah Afga yang datang begitu saja menyelinap di otakku. Segera ku kubur dalam-dalam persaan yang menggangu pikiranku ini. Kambali kulanjutkan tidurku yang sempat tertunda. Kukepakkan tubuhku kedepan dan belakang tetap saja wajahnya masih tertempel dalam imaji. Akan kah ini pertanda? Entahlah waktu yang bisa menjawab semuanya.
Keesokan harinya, mataku terasa digantung beban yang amat berat, ngantuk yang begitu hebat menderaku karena tidur yang tidak nyenyak tadi malam. Karena takut kesiangan kekantor kuputuskan saja Anton untuk mengantarku. Namun sayang keadaan berkata lain, aku baru teringat untuk sebulan kedepan ia ditugaskan ke makasar menemani bosnya survey tempat sebagai tempat wisata baru. Akhirnya bus adalah jalan satu-satunya yang disediakan bagiku. Kali ini aku berangkat pagi, selain takut telat aku juga tidak ingin berdiri sampai kantorku tiba. Tak kusanggaka sembari menunggu bus datang, datanglah seorang laki-laki yang tak asing lagi bagiku. Dia adalah Afga. Dengan wajah yang sedikit tertohok akan kehadirannya kusapa ia dengan pelan karena takut jika aku salah menyapa orang. Oang itu menoleh ke arahku, ia benar, ia adalah Afga yang ku temui kemarin siang di salon itu.
“Kamu?” sapaku pelan.
“Kamu?” terlihat heran.
“Kita berjumpa lagi, oh iya kita belum kenalan.”
“Afga” tambahnya.
“panggil saja aku icha”
Kami saling mengulurkan tangan. Dengan sedikit malu-malu terasa ada alur yang panjang diantara lika nantinya. Senyumnya seperti bulan sabit tak berhenti menyinari relung hatiku yang suram hari ini akan kekecewaanku berangkat kantor dengan bis,seta kekasih yang setia mengantarku kemanapun aku pergi berada jauh diseberang sana.
Tak lama kemudian bus dari arah utara datang. Kami pun langsung naik dan duduk berdampingan. Banyak hal yang kami ceritakan disini samapi kita membuka sesuatu yang tak seharusnya kita bicarakan, yakni tentang hubungan kita dengan pasangan masing-masing, mulai saat itulah hubunganku dengan Afga sangat dekat, bahkan lebih dekat sebagai pasang kekasih. Hubungan kami sangat intens, seolah-olah aku adalah kekasih sahnya. Ia selalu ada setipa aku butuh begitu juga sebaliknya. Bahkan hal yang belum pernah aku lakukan dengan Anton begitu mudahnya kulakukan dengannya. Aku sangat menikmati semua ini begitu juga dia sangat menikmati semaunya. Aku tahu Afga bukan tipekel yang setia tetapi dibalik semuanya ia memerlukan suatu kebebasan didalam dirinya untuk menjadi dirinya sendiri tanpa ada perlu kekangan dari orang lain bahkan itu kekasinya sekalipun.
Kami menyusun serpihan-serpihan hati yang luruh dihati kami masing-masing, kami rajut kembali menjadi secarik kisah yang begitu indah untuk kami tentunya. Waktu kami telah tersita oleh mereka sebagai pemilik hati yang tetap namun disisi yang tak terlihat oleh siapapun kami juga menyisakan secuil hati untuh lainnya, tak banyak yang bisa kita kerjakan semua kita lakukan secara sembunyi. Dibelakang kami menikam, didepan kami jinak sebagai anak hilang yanya rindu ibunya.
Hari-hariku tak seperti biasanya, SMS dari Anton jarang kubalas, telpon darinya selalu kubiarkan, kebohongan mulai meluncur dari bibirku. Dengan beribu alasan ku lontarkan kepadanya, kurasa untuk sat ini ia masih percaya dan yakin kepadaku. Aku kembali menyuili kepingan hatiku yang ku pagutkaan pada Anton untuk Afga, meski tak sempurna terasa indah untuk kita rasakan.takut, gelisah, gemetas bergumul menjadi satu. Tapi itu semua lenyap jika kami bersatu, dan ciumannya bagai sabu dalam diriku, melupakan segala yang ada termasuk permainanku di beakang Anton. Waktu demi waktu kami lalui, terasa indah dan menggoda. Kurengkuh setiap hangat peluknya, derai tawa yang gemericik ku tamping dalam hatiku, pelepas dahaga akan rindu dari kekasihku yang lama tak berpulang. Sampai pada Suatu malam, ketika Afga berbaring diatas ranjangku, ia menanyakan akankah hubungan ini samapi pada pernikahan, ia ingin melepaskan sosok perempuan yang sudah 5 tahun mendampingi hidupnya hanya demi aku yang baru sebulan ia kenal. Perasaan bersalah kini hinggap di benakku jika aku memutuskan aku membenarkan perkataanya. Aku sudah berpunya begitu juga ia. Sungguh ku ingin itu menjadi kenyataan tetapi bukan ini jalan yang seharusnya ditempuh. Ku usap wajahnya yang lugu dengan telunjuk kiriku. Kami saling tersenyum seakan tahu maksud masing-masing.
Malam kian pudar,saatnya pagi datang menghampiri, angin begitu menusuk tulang, tubuh kami semakin mendekat dan erat perpegangan. Ada getar di atas mejaku. Kuraih telpon genggamku, “Anton” telfon dari Anton, ada apa pagi-pagi ia menghubungiku, apakah ia tahu apa yang kulakukan saat ini? Tubuhku gemeteran. Kuremas bahu Afga yang membelakangiku.
“Aw…ada apa Cha? Ada yang gawat?” Ia terbelalak bagun dari tidurnya.
“Anton Ga, ia menelponku, tidak biasanya ia telpon pagi-pagi,” jawabku terbata-bata.

“Coba angkat kali aja ada yangv penting.”
Kuikuti saran Afga untuk mengangkat telpon Anton. Dengan sedikit ragu dan gugup keberanukan menekan tombol warna hijau dari ponselku pertanda sudah tersambung.
“Hal…halo sayang, ada apa?” tanyaku.
“Aku nanti pulang, 2 jam lagi aku mendarat di bandara Juanda. Kamu jemput aku ya. Sudah sebulan kita tidak bertemu. Aku kangen,” omongya sambil menggebu-gebu.
“Ia nanti aku jemput, aku juga kangen sama kamu,” jawabku dengan nada sengau.
“miss U hunny.”
“Miss U too.”
Aku segera bergegas dari tempat tidurku, kutinggalkan Afga yang tergeletak melanjutkan tidurnya kembali setelah terbangun karena sakit akibat ulahku tadi. Aku siap-siap berangkat ke bandara. Jangan sampai Anton mecariku karena aku belum datang apalagi menunggu. Ia pasti rindu dan ingin segera memelukku. Fikiranku berhamburan entah kemana, rasa bersalah kepada Anton karena ulahku sebulan ini, kenikmatan dari Afga yang tak ingin cepat berakihr begitu saja. Aku gugup dan panik. Aku mencoba serileks mungkin di depan Anton seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Sayang aku ke bandara dulu. Anton sebentar lagi mau take off,” terangku.
“Hemmm…” sahut Afga.
“Sebelum jam 11 kamu harus out dari rumahku. Aku tidak ingin ia curiga telah terjadi sesuatu dirumah ini,” aku menambahi.
“Hemm… berangkatlah. Sebentarlagi aku akan out dari sini,” ia balik menimpali.
“baiklah”
Aku berangkat dengan taksi menuju bandara Juanda. Dalam perjalanan pikiranku hanya tertuju pada Anton, bagaimana keadaanya jika tahu hubuganku dengan Afga? Bagaimana jika ia tahu aku bermain dibelakangnya? Entahlah itu sudah menjadu resikoku. Aku juga tidak bisa lepas dari Afga setiap kali memberiku kasih sayang yang tidak kudapatkan dari Anton. Aku tidak ingin hubungan kami berakhir begitu saja. Suara sopir taksi tiba-tiba memecah lamunanku. Aku kembali tersadar, untuk saat ini Antonlah yang membutuhkan aku. Ku masuki setiap lorong yang ada, aku duduk menunggu kepulangan Anton. Semoga ia tidak menemukan keganjalan dalam diriku, aku tertegun sembari menatap layar ponsel dengan profil fotoku bersama anton di kenjeran dulu.
“Hallo, hunny” sapanya dari belakang.
“Hai, I miss U darling” ungkapku dengan rasa kaget.
Tak lama kemudian beberapa rekan kerja bersama bosnya menyusul dari belakang.
“Hai nona, Anton begitu bahagia setelah ia tahu ia kembali ke Surabaya, ternyata ada perempuan cantik yang menantinya,” celetuk bosnya Anton dengan senyum sedikit meledek.
“Ow… iyakah? Wow terima kasih hunny,” aku sedikit kaget.
Mendengar apa yang diungkapkan Bossnya Anton, tak kuasa aku membohonginya selama ini. Kudaratkan kecupan kecil di kening Anton yang basah karena keringat dan kueratkan tubuhku mendekap lembut ketubuhnya, semoga pelukanku tetap hangat, sehangat pelukan ku bersama Afga.
Berkali-kali ku coba yakinkan hatiku pada satu cinta. Kembali ku luruskan hatiku yang telah bercabang ke hati lain. Memang benar hati tak dapat dibohongi mataku terus menyiratkan betapa penting arti hadirnya lelaki lain didalam diriku. Aku telah mencoba luruhkan segala kasihku yang dulu pernah ku titipkan pada Afga. Tapi kenapa perasaan it terus muncul, kuat-dan semakin kuat mendesakku. Aku terasa terbelenggu dalam permainanku sendiri bersama Afga. Hanya seminggu aku mampu melenyapkan wajah Afga dalam benakku, kini wajah itu muncul kembali, bahkan semkin jelas terbayang. Ingin kembali kurengkuh tubuhnya kurus itu, ingin ku kembali kecup bibirnya yang memerah itu. Rasa itu semakin kuat tak terbendung. Hingga pada suatu malam tiba kuhampiri kediamannya yang tak jauh dari rumahku. Aku menemuinya, seperti sedang kecanduan nikotin yang amat berat. Aku tak sabar untuk bertatapan dengannya. Ku buka pintu rumahnya yang sedikit terbuka. Aku mulai menapaki ubin-ubin ynang mengkilapkan itu, tanpa ragu segera kakiku kulangkahkan menuju kamarnya. Kutemukan ia disana.
“Hunny… I miss U” sapaku spontan
“Hai…kapan kamu kemari? Tanyanya kaget.
“Baru saja. Aku kangen kamu,” ku rengkuh tubuhnya dari belakang.
“I miss U too hunny” sambil membalikkan badan menghadap kearahku.
Kami saling berpelukan, begitu hangat untuk kami lewatkan begitu juga. Pelukannya yang hangat. Pantas saja aku tidak sanggup lepas dari jeratannya. Inilah salah-satu yang tak bisa ku lepaskan begitu saja. Hal seperti inilah yang tak ku dapatkan dari Anton.
“Bagaimana keadaan kekasihmu,” tanyanya tiba-tiba.
“Dia baik-baik saja, dia lagi dikantor,” Terangku.
“Bagaimana dengan kekasihmu sendiri?” aku balik bertanya.
“Jangan khawatirkan dia, sekarang dia lagi konsentrasi menyelesaikan skipsinya,” imbuh Afga dengan nada sedikit jutek.
“Baiklah aku tidak bertanya lagi. Lebih baik kita jalan-jalan menghabiskan senja kali ini.
Untuk yang kesekian kalinya aku kembali keluar bersama Afga. Tentunya tanpa sepengetahuan Anton. Begitu banyak alasan yang kulontarkan demi menikmati hariku bersama Afga. Semoga Anton tak curiga kepadaku. Semoga ia tetap sayang denagan ku meski aku telah bermain dibelakangnya. Aku tetap mencintainya tapi aku juga tak sanggup kehilangan Afga yang telah masuk begitu saja dalam hidupku. Semoga ini menjadi kisah yang sempurna tanpa celah sedikitpun. Karena aku tak mampu kehilangan mereka berdua.


Februari 2011
by_lca
Share:

Pada Suatu Ketika

Pada suatu ketika aku mengenalmu, laksana air yang mengalir mengikuti arus, terkadang deras, terkadang pelan, yang pada akhirnya menghantarkan pada suatu muara dimana segala air akan mengalir pada satu tempat yang sama, yakni sebuah lautan.
Semenit sudah aku naik dan duduk dikursi bus pilihanku yang telah ku pilih bersama sahabatku Rani. Bus itu merupakan bus yang akan membawaku dan kawan-kawan melakukan study tour. Ini merupakan acara kelas. Acara yang diadakan untuk memenuhi mata kuliah sekaligus liburan bagi kita semua. Ku amati secara penuh wajah mereka yang masih mengembangkan senyum antara satu dengan yang lainnya. Menyeruapkan wangi ketulusan tanpa adanya suatu pertentangan yang menjadikan duri dalam daging. Iman yang dulu bergaya sedikit kefeminim-feminiman kini berubah menjadi lelaki sejati berkaraoke di depan bus di temani dengan Nova yang sudah lama juga memiliki hobby berkaraoke, dan si pendiam Shanty diam-diam juga ikut menunjukkan kebolehannya berduet bersama Iman dan Nova. Lamunanku terus merambah ketika kami belum mengenal satu sama lain, dan pada akhirnya kami dipersatukan dalam satu kelompok kecil, dimana kita saling mengerti dan mencoba memahami karakter masing-masing.
“Lihatlah mereka! mereka begitu asyik menikmati kebersamaan saat ini, saling membaur satu sama lain, bercanda, ngerumpi. Andai saja setiap hari seperti ini”. Ungkap Lani ketika itu duduk disampingku.
Aku hanya tersenyum mendegar ucapan Lani. Mataku nanar menapaki satu persatu raut wajah mereka. Suatu kedekatan yang lekat seperti ini suatu saat akan berkahir karena suatu keadaan yang menuntut kami harus berpisah. Aku membaurkan diriku bersama mereka, meskipun hanya bercanda sambil tertawa kecil tapi aku sudah merasakan kebahagian bersamanya.
Bus melaju dengan kencang, Iman, Nova, dan Shanty tetap menghibur teman-teman lainnya dengan lagu dangdut yang dibawakannya, sedang yang lain menikmati pemandangan di kanan kiri jalan tertutup rimbunan pohon jati yang melambai-lambaikan dedaunnya tersapu angin. Liku-liku jalanan dengan kontur yang terjal menambah keceriaan para penghuni bus, semua tertawa cekikikan begitu juga diriku.
“Serasa seperti daerah pedalaman yang belum terjamah manusia?” kata Nila
“ini masih taraf biasa Nil, bagaimana kalau kamu ke rumahku. Bakalan shock mendadak kamu” pungkasku diiringi teriakan teman-teman di sekelilingku.
“masak sih?” terangnya.
Nila merupakan anak metropolitan yang terjebak di kota pahlawan ini karena suatu alasan yang mungkin hampir sama dengan kami. Ia hampir tak pernah pulang, kecuali jika libur semester. Itupun hanya sebentar.
“kita telah sampai!”sahut Niesa dari belakang.
“iya, sudah sampai” Suara lain ikut menyahuti sehingga bus berubah ramai. Kini bus tak lagi sepi, serupa gemuruh memecah keheningan.
Bis yang aku tumpangi bersama teman-teman telah sampailah pada tujuan pertama, tempat yang mampu menenangkan hati kepada siapa saja yang berkunjung kemari. Bersama gulungan ombak yang menari lembut di permukaan pantai membuat para penggunjung asyik berenang atau hanya sekadar bermain-main pasir. Saat itu mendung terlihat menggantung diatap langit, aku dan rombonganpun terbawa arus ikut menyentuh bibir pantai.
Kami semua berpencar menikmati pantai dengan caranya sendiri. Ada yang berteduh di bawah pohon, ada yang berbincang-bincang bersama pengunjung lain, ada yang berenang, bermain pasir, dan lain sebagainya. Aku, Lani, Risa, dan Nila menuju sebuah tempat yang agak berjauhan dengan air. Kami memilih berteduh di sebuah panggung gembira. Kebetulan panggung tersebut sedang tak ada kegiatan. ketinggian tempatnya sekitar 5 meter diatas pantai. Dari sinilah kita menikmati pesona pantai yang begitu eksotik, semilir angin menyeruapkan kesejukan di tubuh kami yang diselimuti perasaan gembira.
Kini aku mulai menyusun kembali mozaik-mozaik kenangan bersama mereka satu bulan yang lalu. Di kampus kami, pada sebuah ruangan kecil yang terletak di lantai tiga, ruangan yang langsung berhadapan dengan anak tangga. Disanalah saksi bisu perdebatan antara kami di mulai. Sebuah perdebatan yang berujung pada satu ketidakpercayaan satu sama lain. satu kepala memiliki satu pemikiran, yang mana pemikiran tersebut harus berujung pada sebuah pemikiran untuk kepentingan semua. Tetapi hal itu bukan pilihan yang mudah, butuh proses yang panjang. Polemik diantara kami semakin menjadi. Setiap individu menawarkan terhadap apa yang ia miliki. Tak ada kepastian yang jelas. Perdebatan hanya membuahkan mulut-mulut kecil yang menggigit telinga, sehingga kami pulang dengan tangan kosong.
Seminggu setelah perdebatan terjadi. Kami mencoba kembali untuk mencari kemufakatan, hari ini masing-masing individu diperkenankan untuk menumpahkan perasaannya, mengingat keberangkatan study tour yang diadakan kelas kami semakin dekat. Di sebuah tempat yang sama, kami datang dan duduk dengan posisi bergerumbul. Pandangan setiap mata menyorotkan ketegangan di dalam diri mereka, mulut-mulut kecilpun ikut berkicau pelan. Hingga pada akhirnya satu suara membungkam celotehan semua.
“braaaaak!” suara tangan yang dipukulkan di meja.
“semua bisa diam?” Tanya Acun. Semua tertunduk dan menghentikan celotehannya secara spontan.
“waktu sudah semakin dekat, ku harap kalian bisa mengerti. Silahkan kalian menyalurkan ide yang kalian miliki untuk kesuksesan acara kita besok”.
Suara kembali muncul satu-persatu, kelas tak lagi sepi, mereka saling bersahut-sahutan laksana burung mengantri giliran jatah makanan. Namun kali ini suara tersusun secara apik, seperti melodi yang mengalun dengan rapi. Ketegangan tak lagi terlihat, melainkan tanda-tanda kemufakatan akan di dapat.
mendengar kata mufakat yang di putuskan oleh Acun selaku pemimpin musyawarah kelas. Raut muka yang tirus telah lenyap terkikis senda gurau dalam kelas. kami pun meninggalkan kelas dengan tentram, sudah tak ada beban yang bergelayut di hati masing-masing.
Sesampai pada suatu ketika yang sudah ditentukan, 26 Desember 2011 kamipun berangkat dengan tujuan yang sudah menjadi mufakan antar semuanya. Segala penat tak lagi terlihat, kini tinggalah senyum-senyum kecil yang tersisa dari perdebatan yang telah terucap. Senyum-senyum kecil itu masih keurasakan sampai di tepi pantai ini yang datang bersama gemuruh ombak dengan gemericikan butiran air yang membawa kedamaian di dalam hati.
Kini aku kembali tersenyum, perlahan berdiri dan merentangkan tanganku yang ku dekap sedari tadi. Ku pandangi Lani, Risa, dan Nila yang duduk di sampingku. Begitu tulus wajahnya, menjadi sahabat yang mau mengerti dan memahami setiap karakter pribadi masing-masing.
Dan kini, pada suatu ketika kebersamaan telah kembali bersarang dihati kita, tubuhmu dan tubuhku saling mendekat penuh hangat. Berharap semuanya akan terus terajut meski badai menghempaskan jiwa yang saling bersatu.


by_lca
Surabaya, 17/1/2012/23:52
Share:

Diari-ku

Selasa 3 Januari 2010
Dear Diary,
“Kali ini aku akan bercerita sedikit tentang keluh kesah yang membebaniku saat ini. dua hari yang lalu aku begitu dengan dua laki-laki yang begitu aku sayangi. Pertama, dia adalah kakakku Arman dan yang kedua dia adalah sahabatku Toni. Kak Arman, meskipun dia telah bertunangan namun dia memberikan sisa-sisa cintanya kepadaku. Ketika pada malam tahun baru sampai sekarang ini dia tak henti-hentinya menelpon dan SMS diriku. Kami begitu lekat laksana anak ayam yang tak bisa jauh dari indukanya. Tapi diary, pada malam tahun baru juga ada lelaki yang menyatakan cintanya kepadaku. Aku sontak kaget. Memang selama ini kita begitu dekat namun kedekatanku tak lebih sahabat yang berbagi keluh kesah yang kita rasakan selama ini. iya benar sekali ia adalah Toni (dalam kamar tidur)”.
Berawal dari itulah Keysa memulai mencatat segala perasaan yang ia rasakan lewat diary yang ia beli di toko buku langganannya. Keysa adalah cewek pendiam, tak banyak tingkah. Jika orang menyapa, ia hanya memandang dengan matanya yang teduh sembari melebarkan senyum dari bibirnya. Dengan kediamannya itu, hampir ia tidak memiliki teman bergaul. Ia hanya berteman dengan leptop birunya serta koleksi novel-novel di rak bukunya. Aktivitas keysa setiap hari adalah sama yakni berangkat kuliah, ke toko buku, dan membaca novel-novel sampai larut malam. Hingga matanya yang begitu teduh di selimuti kacamata yang membantu matanya dalam ketidakjelasannya melihat. Tak ada yang istimewa dalam dirinya, dan itulah Keysa.
Pada suatu pagi, ketika ia terbangun dari tidurnya. Ia baru tersadar bahwa ia sedari malam telah di pertanyaakan akan perasaannya terhadap seseorang. Pertanyaan yang membuatnya sesak, sulit bernafas, bahkan tak mampu untuk bernafas. Di lain pihak, terbayang seorang kakak yang sudah mengganggapnya lebih dari seorang adik, mungkin bisa saja dikatakan sebagai “pacar” namun status yang menghalangi perasaan mereka berdua.
“Ahk… apa yang ada dalam otakku. Rasa ini begitu membebaniku” gerutunya.
“kali ini aku harus berani mengambil sebuah keputusan. keputusan yang membuatku bisa terlepas dari cengkrama kegalauan ini” Keysa mengucap dalam hati.
Rabu, 4 januari 2010
Diary, kali ini aku benar-benar pusing. Toni mulai mendesakku untuk menjawab pertanyaan yang ia lontarkan kepadaku. aku tidak menyukainya. Ia aku anggap sebagai sahabat, tak lebih. Aku menyukai kak Arman. Meskipun telah bertunangan, aku tak peduli. Isi otakku hanya tertulis nama kak Arman. Bagaimana ini??? aku binggung (Gazebo kampus).
Ketika itulah keberanian Keysa di uji. Keberanian yang patut di acungi jempol oleh semua orang yang menggenalnya. Keysa jarang bergaul dengan lawan jenis. Apalagi soal yang satu ini, ia masih nihil. Di bawah mendung yang menggelantung di atap langit, tampak sosok Toni sudah menanti Keysa di Gazebo kampus. dengan wajah pucat pasi, ia merangkak pelan menghampiri Toni yang memakai kemeja merah tanpa dikancingkan, dan didalamnya terdapat kaos coklat tipis yang menutupi tubuhnya.
“bolehkah aku duduk di sampingmu Ton” Tanya Keysa.
“oke. Aku sudah lama menantimu” terang Toni.
“baiklah kita bicarakan saja sekarang pembahasan kita di telfon kemarin” lanjutnya.
Keysa hanya manggut-manggut mendengar perkataan Toni. Kini mulai membicarakan permasalahan yang terjadi diantara mereka. Mereka begitu canggung satu sama lain. wajah yang semula pucat kini semakin pucat ke putih-putihan seperti mayat yang sudah seminggu meninggal. Hal itu berbalik dengan Toni, ia tampak biasa, tanganya semula bergelayut di tepi kursi kini mulai meraba tubuh Keysa yang semakin begetar kencang. Entah apa yang di bicarakan, Toni sesekali tersenyum melihat Keysa, tetapi Keysa hanya datar dan merunduk ke bawah. Sesekali wajahnya menatap wajah Toni kemudian merunduk kembali.
Rabu 4 Januari
Diary, hal yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya kini begitu nyata bagiku. Aku telah menerimanya sebagai kekasihku. Melihat matanya yang berbinar tulus, wajahnya seteduh senja , dan tubuhnya sehangat matahari pagi. Aku tak kuasa menolaknya. Bagaimana dengan hari-hariku selanjutnya? Bagaimana dengan kakak? (dalam kamar tidur).
Semenjak itulah hari-hari Keysa di penuhi dengan kehadiran Toni. SMS, telpon, Chatting, bahkan apel pun sehari bisa sampai 2 hingga 3 kali. Sungguh sepasang muda-mudi yang masih di selimuti perasaan kasmaran. Perubahan drastis yang dialami oleh Keysa. Keysa yang dulu rajin ke toko buku, kini bisa di hitung dengan jari. Novel-novel berat yang ia baca, telah lama di tinggalkan berganti dengan novel picisan. Tetapi Keysa tetaplah Keysa. Seorang cewek yang mendapatkan perhatian dari lelaki yang di cintainya. Ia mau merubah jalan pikirnya hanya sekadar mendapatkan kenikmatan yang ia sukai. Ketika dulu, meskipun ia takut tak akan bisa berhubungan kembali dengan Arman, kakaknya tetapi hubungan mereka semakin lama bertambah erat. Saat ini mereka telah berpunya. Arman dengan tungangannya sedang Keysa dengan kekasih barunya, Toni. Mereka sering bertemu di sela-sela senggang waktu mereka. Arman sering menemui Keysa di tempat kosnya setelah pulang dari kerjanya. Semakin dekat dan semakin merekat.
Selasa 10 februari
Dyari, aku kembali membagi kisahku sekarang ini. sebulan yang lalu aku telah menerima cinta Toni. Kini Kakak yang aku sayangi bahkan aku cintai telah menyatakannya pula. Aku bahagia tapi aku berdosa. Telah menghianati Toni begitu juga kak Vivi, tunangan kak Arman (balkon rumah).
Bayangan Arman selalu melekat dalam kepala Keysa, matanya yang terbuka hingga larut malam untuk membaca novel, kini hanya untuk memikirkan sebuah cerita yang tak kunjung ada penyelesaiannya. Toni, begitu juga Vivi mulai mendapati tanda-tanda ganjil terhadap pasangan masing-masing. Mereka tak peduli. Yang ada hanyalah cinta, cinta yang membutakan mata hatinya. Hari-hari Keysa laksana kembang yang tersesat dalam hutan. Hidup ditengah keliaran perasaan, terkadang layu, terkadang berseri.
16 Februari
Banyak cerita, banyak hal yang harus kamu tau Diaryku. Perasaan menggantung antara aku bersama kak Arman telah menyakiti semuanya. Toni tak pernah ku hiraukan, kak Vivi menjerit terbuang oleh kak Arman. Sedangkan aku disini tertawa menyaksikan kesakitan pada mereka. Aku tak ma terus seperti ini. Begitu sakit (kamar tidur).
“bolehkah aku bertemu denganmu, Kak?” Tanya Keysa melalui selulernya.
“tentu” jawab Arman Singkat.
“mungkin pantai cocok bagi kita untuk melepaskan perasaan kita” terang Keysa.
“oke” pungkas Arman.
Di balik senja yang menguning keemasan, menyemburatkan warna jingga di tembok-tembong gedung yang berbaris di sepanjang jalan. Dengan asap mengepul dari kendaraan orang-orang pulang bekerja Arman dan Keysa kembali menyisir jalan menuju tempat yang mereka kunjungi. Bersama liur angin yang berhembus lembut mengikat mereka dalam dekapan hangat. Tubuh Keysa semakin erat menyatu denga tubuh Arman. Tiba-tiba suara ponsel Keysa memecah dekapan diantara mereka.
“aku tahu kamu dimana dan dengan siapa. Selesaikan saja urusanmu. Aku tak mau mengganggumu saat ini. yang aku tahu besok dan selamanya kamu berada di dekapku” kata Toni lewat SMS.
Tubuh Keysa gemetar sambil bertanya-tanya darimana Toni mengetahui kepergiannya bersama Arman. Jantungnya bergemuruh, suaranya seakan tertelan dengan shok yang dialaminya saat ini sampai perkataan Arman tak mengubahnya dalam lamunan. Keysa seperti boneka tak tahu arah dan tujuan, perkataan Arman tak ada yang di hiraukan. Hingga Arman mendudukkannya pada sebuah tepi pantai dengan dua butir degan di depannya.
“apa yang ingin kamu katakan, Sa? Sampai kau mengajakku disini.” Tanya Arman.
“e…e…e…” dengan tubuh gemetar.
“minumlah dulu, tubuhmu gemetar,Wajahmu pucat, tanganmu begitu dingin” terang Arman.
“kakak, kita telah terlalu jauh melangkah. Kita mengingkari kesepakatan yang kita sepekati dulu. Kita telah berdosa kepada pasangan masing-masing. Aku takut karma,Kak”
“apakah itu maumu? Tak bisakah kita bersatu?”
“tidak” dengan menggelengkan kepala.
Mereka saling menatap laut di depan mereka. Seolah-olah mereka menceritakan apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini. kemudian tangan Arman merayap di punggung Keysa lalu mendekap penuh hangat. Keysa tak kuasa menahan tangis. Keinginan untuk memiliki harus berakhir dan terbuang di tepi lautan selat Madura.
Sabtu 7 Maret
Diary, kini semua sudah berakhir. Ceritaku telah pungkas di tepi laut. Butir-butir cinta yang telah kami rangkaikan kini telah lenyap terbawa arus gelombang yang begitu menyiksa di hati. Biarkan cinta ini mengendap dalam palung laut dan berputar-putar di bawah sana. Akan ku akhiri kisah ini di kertas diaryku yang terakhir (di kamar tidur).
Diary yang sudah beberapa bulan ia isi kini telah berisi penuh dengan seribu kisah yang dialaminya. Tanda tangan sebelah kanan bawah menjadi akhir tulisannya kali ini. pelan-pelan ia menutup dan mendekapnya.
Kini diary biru muda tertutup dan terkunci.

7/1/2012/19:33

by_lca
Share:
Instagram

Postingan Populer

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.