Inilah aku yang selalu gelisah disaat Agfa selalu berada disisiku. Tubuhku bagaikan kembang merindukan hujan di tengah kemarau panjang, lalu mekar di antara gemericikan hujan yang kunanti meski hanya sedetik lamanya. Aku nyaris hilang kendali segera ingin memeluk dan mengecup bibirnya yang memerah. Menumpahkan segala dahaga yang tak kudapatkan dari laki-laki lainnya.
Rasa ini selalu mencekamku begitu juga afga, kami saling sembunyi untuk sekadar bertemu bahkan komunikasipun mengendap-ngendap seperti pencuri takut ketahuan pemiliknya. Kami sering melakukan seperti ini, meskipun begitu ada suatu kepuasan tersendiri yang tak dapat tergantikan oleh apapun.
Aku dan Afga memang sudah memilki pasangan, pasangan kami sangat setia pada kami. Mungkin dengan kesetian itulah kami mencari sesuatu yang berbeda dari apa yang tidak dimilki oleh pasangan masing-masing. Sebut saja Anton, dia adalah kekasihku, ia adalah tipikel orang yang setia. Kemanapun yang aku mau ia selalu ada untukku, apapun yang aku minta ia berusaha memberikannya meskipun itu susah untuk mendapatkannya. Hampir selama menjalani hubungan tak pernah ada suatu konflik yang menjadikannya kerikil bagi hubungan kami. Semuanya secara konstan dan mengalir begitu saja. Hingga akhirnya aku mencari suatu sensasi yang lain agar aku memiliki “greget” dalam menjalani hidup ini terutama dalam hal bercinta. Hingga pada akhirnya kutemukan seorang lelaki berwajah oriental, tubuhnya sedikit kurus dan tinggi. Ia benar, dia adalah Afga. Jika belum mengenal sosoknya lebih dekat, semua wanita akan mengira kalau ia adalah sosok lelaki yang pendiam dan setia dengan pasangannya. Karena disetiap harinya slalu dipenuhi ia dengan pasangannya, ibarat kata dimana ada gula disitu ada semuat, dimana ada Afga selalu ada kekasihnya. Aku sering menjumpai ia di salon langgananku. Waktu itu secara tidak sengaja kulihat ia mengatarkan kekasihnya sedang perawatan tubuh, wajahnya seperti ditekuk, tak sedikitpun bibirnya merenyahkan hati. Ia kelihatan tidak nyaman berada ditempat seperti itu apalagi berjam-jam tak ada orang yang menemaninya mengobrol. Aku tahu bagaimana rasanya menuggu seseorang, “membosankan” itulah kata-kata yang selalu diucapkan Anton kepadaku, tapi aku tidak menggubrisnya dan ia pun menikmati kebosann itu. Dari sinilah kisahku dengan Afga berawal, ku hampiri Afga yang sedang duduk sendiri di ruang tunggu. Aku mencoba mendekat dan mencari-cari bahan obrolan. Sedikit kaku memang, seiring dengan berjalannya waktu obrolan-obrolan yang kami bicarakan dapat mencairkan tubuh kami yang kaku, bibirnya yang mengkerut mulai melengkung lebar, suaranya terlihat renyah, tubuhnya terlihat luwes dan lentur. Tak lama kemudian datanglah si perempuan dari dalam ruangan, dengan hentakan kaki yang sedikit dipaksakan serta muka yang masam mendekat kearah kami.
“Ayo mas! Aku sudah selesai,” suara wanita dari belakang.
“Sudah selesai?” kata Afga dengan mengangkat tubuhnya dari kursi
“Aku keluar dulu ya” ucap afga bergegas meninggalkan ruangan ini
Sekarang tinggalah aku sendiri di ruang tunggu menanti kekasihku dari tempat ia nonggkrong sembari menungguku melakukan urusan perempuan. Untuk urusan yang satu ini ia benar-benar tidak mengikutiku. Ia menggangap laki-laki sangat anti dengan yang namanya salon meskipun hanya sekadar mengantar saja, oleh karenanya ia memilih untuk menjauhkan diri dari tempat yang bernama salon.
Dari salon aku dengan kekasihku beranjak menuju restaurant untuk makan siang. Aku tak sedetikpun mengingat akan Afga. Aku kembali menemuinya ditempat yang sama. Kali ini ia tidak bersama kekasihnya, ia menikmati makanan itu bersama wanita lain yang sedikit tua dari dirinya. Aku tidak terlalu memperhatikannya, mungkin ia ibunya atau siapa, toh aku tidak mengenal siapa dia selain bercakap-cakap di salon tadi. Akupun menikmati makanan yang sudah dipesan Anton untukku. Kemudian kami bergegas meninggalkan restaurant itu dan segera pulang. Senja telah menggulung hari ini dengan indah. Angin sepoinya mengalir lembut bagi siapa saja yang menghirupnya. Burung-burungpun terbang bebas kembali keperaduannya setelah sekian lama merantau di dahan-dahan yang sekira teduh baginya. Begitupun aku akan merebahkan tubuhku setelah seharian menitih hari yang begitu melelahkan.
Hawa begitu pengap malam ini, serasa angin telah terengut purnama yang garang, Tidurku tidak begitu nyenyak pikiranku tiba-tiba terusik akan wajah Afga yang datang begitu saja menyelinap di otakku. Segera ku kubur dalam-dalam persaan yang menggangu pikiranku ini. Kambali kulanjutkan tidurku yang sempat tertunda. Kukepakkan tubuhku kedepan dan belakang tetap saja wajahnya masih tertempel dalam imaji. Akan kah ini pertanda? Entahlah waktu yang bisa menjawab semuanya.
Keesokan harinya, mataku terasa digantung beban yang amat berat, ngantuk yang begitu hebat menderaku karena tidur yang tidak nyenyak tadi malam. Karena takut kesiangan kekantor kuputuskan saja Anton untuk mengantarku. Namun sayang keadaan berkata lain, aku baru teringat untuk sebulan kedepan ia ditugaskan ke makasar menemani bosnya survey tempat sebagai tempat wisata baru. Akhirnya bus adalah jalan satu-satunya yang disediakan bagiku. Kali ini aku berangkat pagi, selain takut telat aku juga tidak ingin berdiri sampai kantorku tiba. Tak kusanggaka sembari menunggu bus datang, datanglah seorang laki-laki yang tak asing lagi bagiku. Dia adalah Afga. Dengan wajah yang sedikit tertohok akan kehadirannya kusapa ia dengan pelan karena takut jika aku salah menyapa orang. Oang itu menoleh ke arahku, ia benar, ia adalah Afga yang ku temui kemarin siang di salon itu.
“Kamu?” sapaku pelan.
“Kamu?” terlihat heran.
“Kita berjumpa lagi, oh iya kita belum kenalan.”
“Afga” tambahnya.
“panggil saja aku icha”
Kami saling mengulurkan tangan. Dengan sedikit malu-malu terasa ada alur yang panjang diantara lika nantinya. Senyumnya seperti bulan sabit tak berhenti menyinari relung hatiku yang suram hari ini akan kekecewaanku berangkat kantor dengan bis,seta kekasih yang setia mengantarku kemanapun aku pergi berada jauh diseberang sana.
Tak lama kemudian bus dari arah utara datang. Kami pun langsung naik dan duduk berdampingan. Banyak hal yang kami ceritakan disini samapi kita membuka sesuatu yang tak seharusnya kita bicarakan, yakni tentang hubungan kita dengan pasangan masing-masing, mulai saat itulah hubunganku dengan Afga sangat dekat, bahkan lebih dekat sebagai pasang kekasih. Hubungan kami sangat intens, seolah-olah aku adalah kekasih sahnya. Ia selalu ada setipa aku butuh begitu juga sebaliknya. Bahkan hal yang belum pernah aku lakukan dengan Anton begitu mudahnya kulakukan dengannya. Aku sangat menikmati semua ini begitu juga dia sangat menikmati semaunya. Aku tahu Afga bukan tipekel yang setia tetapi dibalik semuanya ia memerlukan suatu kebebasan didalam dirinya untuk menjadi dirinya sendiri tanpa ada perlu kekangan dari orang lain bahkan itu kekasinya sekalipun.
Kami menyusun serpihan-serpihan hati yang luruh dihati kami masing-masing, kami rajut kembali menjadi secarik kisah yang begitu indah untuk kami tentunya. Waktu kami telah tersita oleh mereka sebagai pemilik hati yang tetap namun disisi yang tak terlihat oleh siapapun kami juga menyisakan secuil hati untuh lainnya, tak banyak yang bisa kita kerjakan semua kita lakukan secara sembunyi. Dibelakang kami menikam, didepan kami jinak sebagai anak hilang yanya rindu ibunya.
Hari-hariku tak seperti biasanya, SMS dari Anton jarang kubalas, telpon darinya selalu kubiarkan, kebohongan mulai meluncur dari bibirku. Dengan beribu alasan ku lontarkan kepadanya, kurasa untuk sat ini ia masih percaya dan yakin kepadaku. Aku kembali menyuili kepingan hatiku yang ku pagutkaan pada Anton untuk Afga, meski tak sempurna terasa indah untuk kita rasakan.takut, gelisah, gemetas bergumul menjadi satu. Tapi itu semua lenyap jika kami bersatu, dan ciumannya bagai sabu dalam diriku, melupakan segala yang ada termasuk permainanku di beakang Anton. Waktu demi waktu kami lalui, terasa indah dan menggoda. Kurengkuh setiap hangat peluknya, derai tawa yang gemericik ku tamping dalam hatiku, pelepas dahaga akan rindu dari kekasihku yang lama tak berpulang. Sampai pada Suatu malam, ketika Afga berbaring diatas ranjangku, ia menanyakan akankah hubungan ini samapi pada pernikahan, ia ingin melepaskan sosok perempuan yang sudah 5 tahun mendampingi hidupnya hanya demi aku yang baru sebulan ia kenal. Perasaan bersalah kini hinggap di benakku jika aku memutuskan aku membenarkan perkataanya. Aku sudah berpunya begitu juga ia. Sungguh ku ingin itu menjadi kenyataan tetapi bukan ini jalan yang seharusnya ditempuh. Ku usap wajahnya yang lugu dengan telunjuk kiriku. Kami saling tersenyum seakan tahu maksud masing-masing.
Malam kian pudar,saatnya pagi datang menghampiri, angin begitu menusuk tulang, tubuh kami semakin mendekat dan erat perpegangan. Ada getar di atas mejaku. Kuraih telpon genggamku, “Anton” telfon dari Anton, ada apa pagi-pagi ia menghubungiku, apakah ia tahu apa yang kulakukan saat ini? Tubuhku gemeteran. Kuremas bahu Afga yang membelakangiku.
“Aw…ada apa Cha? Ada yang gawat?” Ia terbelalak bagun dari tidurnya.
“Anton Ga, ia menelponku, tidak biasanya ia telpon pagi-pagi,” jawabku terbata-bata.
“Coba angkat kali aja ada yangv penting.”
Kuikuti saran Afga untuk mengangkat telpon Anton. Dengan sedikit ragu dan gugup keberanukan menekan tombol warna hijau dari ponselku pertanda sudah tersambung.
“Hal…halo sayang, ada apa?” tanyaku.
“Aku nanti pulang, 2 jam lagi aku mendarat di bandara Juanda. Kamu jemput aku ya. Sudah sebulan kita tidak bertemu. Aku kangen,” omongya sambil menggebu-gebu.
“Ia nanti aku jemput, aku juga kangen sama kamu,” jawabku dengan nada sengau.
“miss U hunny.”
“Miss U too.”
Aku segera bergegas dari tempat tidurku, kutinggalkan Afga yang tergeletak melanjutkan tidurnya kembali setelah terbangun karena sakit akibat ulahku tadi. Aku siap-siap berangkat ke bandara. Jangan sampai Anton mecariku karena aku belum datang apalagi menunggu. Ia pasti rindu dan ingin segera memelukku. Fikiranku berhamburan entah kemana, rasa bersalah kepada Anton karena ulahku sebulan ini, kenikmatan dari Afga yang tak ingin cepat berakihr begitu saja. Aku gugup dan panik. Aku mencoba serileks mungkin di depan Anton seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Sayang aku ke bandara dulu. Anton sebentar lagi mau take off,” terangku.
“Hemmm…” sahut Afga.
“Sebelum jam 11 kamu harus out dari rumahku. Aku tidak ingin ia curiga telah terjadi sesuatu dirumah ini,” aku menambahi.
“Hemm… berangkatlah. Sebentarlagi aku akan out dari sini,” ia balik menimpali.
“baiklah”
Aku berangkat dengan taksi menuju bandara Juanda. Dalam perjalanan pikiranku hanya tertuju pada Anton, bagaimana keadaanya jika tahu hubuganku dengan Afga? Bagaimana jika ia tahu aku bermain dibelakangnya? Entahlah itu sudah menjadu resikoku. Aku juga tidak bisa lepas dari Afga setiap kali memberiku kasih sayang yang tidak kudapatkan dari Anton. Aku tidak ingin hubungan kami berakhir begitu saja. Suara sopir taksi tiba-tiba memecah lamunanku. Aku kembali tersadar, untuk saat ini Antonlah yang membutuhkan aku. Ku masuki setiap lorong yang ada, aku duduk menunggu kepulangan Anton. Semoga ia tidak menemukan keganjalan dalam diriku, aku tertegun sembari menatap layar ponsel dengan profil fotoku bersama anton di kenjeran dulu.
“Hallo, hunny” sapanya dari belakang.
“Hai, I miss U darling” ungkapku dengan rasa kaget.
Tak lama kemudian beberapa rekan kerja bersama bosnya menyusul dari belakang.
“Hai nona, Anton begitu bahagia setelah ia tahu ia kembali ke Surabaya, ternyata ada perempuan cantik yang menantinya,” celetuk bosnya Anton dengan senyum sedikit meledek.
“Ow… iyakah? Wow terima kasih hunny,” aku sedikit kaget.
Mendengar apa yang diungkapkan Bossnya Anton, tak kuasa aku membohonginya selama ini. Kudaratkan kecupan kecil di kening Anton yang basah karena keringat dan kueratkan tubuhku mendekap lembut ketubuhnya, semoga pelukanku tetap hangat, sehangat pelukan ku bersama Afga.
Berkali-kali ku coba yakinkan hatiku pada satu cinta. Kembali ku luruskan hatiku yang telah bercabang ke hati lain. Memang benar hati tak dapat dibohongi mataku terus menyiratkan betapa penting arti hadirnya lelaki lain didalam diriku. Aku telah mencoba luruhkan segala kasihku yang dulu pernah ku titipkan pada Afga. Tapi kenapa perasaan it terus muncul, kuat-dan semakin kuat mendesakku. Aku terasa terbelenggu dalam permainanku sendiri bersama Afga. Hanya seminggu aku mampu melenyapkan wajah Afga dalam benakku, kini wajah itu muncul kembali, bahkan semkin jelas terbayang. Ingin kembali kurengkuh tubuhnya kurus itu, ingin ku kembali kecup bibirnya yang memerah itu. Rasa itu semakin kuat tak terbendung. Hingga pada suatu malam tiba kuhampiri kediamannya yang tak jauh dari rumahku. Aku menemuinya, seperti sedang kecanduan nikotin yang amat berat. Aku tak sabar untuk bertatapan dengannya. Ku buka pintu rumahnya yang sedikit terbuka. Aku mulai menapaki ubin-ubin ynang mengkilapkan itu, tanpa ragu segera kakiku kulangkahkan menuju kamarnya. Kutemukan ia disana.
“Hunny… I miss U” sapaku spontan
“Hai…kapan kamu kemari? Tanyanya kaget.
“Baru saja. Aku kangen kamu,” ku rengkuh tubuhnya dari belakang.
“I miss U too hunny” sambil membalikkan badan menghadap kearahku.
Kami saling berpelukan, begitu hangat untuk kami lewatkan begitu juga. Pelukannya yang hangat. Pantas saja aku tidak sanggup lepas dari jeratannya. Inilah salah-satu yang tak bisa ku lepaskan begitu saja. Hal seperti inilah yang tak ku dapatkan dari Anton.
“Bagaimana keadaan kekasihmu,” tanyanya tiba-tiba.
“Dia baik-baik saja, dia lagi dikantor,” Terangku.
“Bagaimana dengan kekasihmu sendiri?” aku balik bertanya.
“Jangan khawatirkan dia, sekarang dia lagi konsentrasi menyelesaikan skipsinya,” imbuh Afga dengan nada sedikit jutek.
“Baiklah aku tidak bertanya lagi. Lebih baik kita jalan-jalan menghabiskan senja kali ini.
Untuk yang kesekian kalinya aku kembali keluar bersama Afga. Tentunya tanpa sepengetahuan Anton. Begitu banyak alasan yang kulontarkan demi menikmati hariku bersama Afga. Semoga Anton tak curiga kepadaku. Semoga ia tetap sayang denagan ku meski aku telah bermain dibelakangnya. Aku tetap mencintainya tapi aku juga tak sanggup kehilangan Afga yang telah masuk begitu saja dalam hidupku. Semoga ini menjadi kisah yang sempurna tanpa celah sedikitpun. Karena aku tak mampu kehilangan mereka berdua.
Februari 2011
by_lca